Ilmu Hukum
HAND OUT ILMU HUKUM
Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan I
Pengertian-pengertian Ilmu Hukum
- Cross, memberikan definisi, bahwa “ilmu hukum
adalah segala pengetahuan hukum yang mempelajari hukum dalam segala
bentuk dan manifestasinya”. (Satjipto Rahardjo 1982:12).
- Ilmu hukum dalam perpustakaan hukum dikenal dengan nama “Jurisprudence”
yang berasal dari kata “Jus”, Juris” yang artinya hukum atau hak.
“Prudence” berarti meilhat ke depan atau mempunyai keahlian, dan
arti umum dari Jurisprudence adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari hukum.(Satjipto Rahardjo 1982:10).
- Curzon, berpendapat bahwa “ilmu hukum adalah
suatu ilmu pengetahuan yang mencakup dan membicarakan segala hal
yang berhubungan dengan hukum”.(Satjipto Rahardjo 1982:3). Dalam
bahasa Inggrisnya ia disebut “Jurisprudence”.
- Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam bukunya “Perihal Kaidah Hukum” (1982:10) menyebutkan bahwa ilmu hukum mencakup :
- Ilmu tentang kaidah, yaitu ilmu yang menelaah hukum sebagai
kaidah atau sistem kaidah-kaidah dengan dogmatic hukum dan
sistematik hukum.
- Ilmu Pengertian, yakni ilmu tentang pengertian-pengertian
pokok dalam hukum seperti subyek hukum, hak dan kewajiban,
peristiwa hukum, hubungan hukum, dan obyek hukum.
- Ilmu tentang kenyataan, yang menyoroti hukum sebagai
perikelakuan sikap tindak, yang antara lain mencakup sosiologi hukum,
antropologi hukum, psikologi hukum, perbandingan hukum, dan sejarah
hukum.
- Ilmu hukum adalah suatu pengetahuan yang obyeknya adalah hukum
dan yang khusus mengajarkan perihal hukum dalam segala bentuk dan
manifestasinya, ilmu hukum sebagai ilmu kaidah, ilmu hukum sebagai
ilmu pengertian dan ilmu hukum sebagai ilmu kenyataan. (R.Soeroso
1993:5).
Pengertian Tentang Hukum
Arti kata hukum secara etimologi memiliki beberapa istilah, diantaranya yaitu :
- Hukum
Kata hukum berasal dari bahasa Arab, yang selanjutnya diambil alih
dalam bahasa Indonesia. Di dalam pengertian hukum terkandung pengertian
yang bertalian erat dengan pengertian yang dapat melakukan paksaan.
- Recht
Recht berasal dari “
Rectum” (bahasa Latin) yang mempunyai arti bimbingan atau tuntunan, atau pemerintahan. Bertalian dengan kata ‘
Rectum” di kenal pula kata “
Rex” yaitu orang yang pekerjaannya memberikan bimbingan atau memerintah. “
Rex” juga dapat diartikan raja yang mempunyai kerajaan (
regimen).
- Ius
Kata “
Ius” berasal dari bahasa Latin yang mengandung arti hukum. “
Ius” berasal dari kata “
Iubere” artinya mengatur atau memerintah. Kata “
Ius” seringkali bertalian erat dengan kata “
Iustitia”
atau keadilan. Pada zaman Yunani Kuno, Iustitia adalah dewi keadilan
yang dilambangkan sebagai seorang wanita dengan kedua matanya tertutup
dengan tangan kirinya memegang neraca dan tangan kanannya memegang
sebuah pedang.
- Lex
Kata “
Lex” berasal dari bahasa Latin yakni “Lesere”. Lesere mengandung arti mengumpulkan orang-orang untuk diberi perintah.
Sebenarnya para sarjana telah lama mencari suatu batasan tentang
hukum tetapi belum ada yang dapat meberikan suatu batasan atau definisi
yang tepat. Batasan-batasan yang diberikan adalah bermacam-macam,
berbeda satu sama lain dan tidak lengkap. Maka sangatlah tepat apa yang
telah dikatakan oleh Immanuel Kant pada tahun 1800 :
“Noch suchen die juristen eine definition zu ihren begriffe von recht”,
yang artinya para juris masih mencari suatu definisi mengenai
pengertian tentang hukum. Berdasarkan uraian tersebut, untuk membuat
definisi hukum adalah sulit. Seandainya ada yang mendefinisikan, maka
definisinya akan dipengaruhi oleh latar belakang mereka masing-masing.
Diantara beberapa definisi hukum yang dikemukakan oleh pakar hukum
antara lain ialah :
- Prof.Dr. P.Brost
Hukum ialah merupakan peraturan atau norma, yaitu petunjuk atau
pedoman hidup yang wajib ditaati oleh manusia. Dengan demikian hukum
bukanlah kebiasaan.
- Prof.Dr.Van Kan
Dalam bukunya “
Inleiding tot de rechtswetenschap”, hukum ialah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.
- Prof.Mr.Dr.L.J.Van Apeldoorn
Hukum mengatur perhubungan antara manusia atau inter hukum.
- Kantorowich
Dalam bukunya “
The definition of law” beliau mengatakan
hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan social yang mewajibkan
perbuatan lahir yang mempunyai sifat keadilan serta dapat dibenarkan.
Tujuan Hukum
Mengingat banyaknya perndapat yang berbeda-beda berkaitan dengan
tujuan hukum, maka untuk mengatakan secara tegas dan pasti adalah suatu
hal yang sulit. Ada yang beranggapan bahwa tujuan hukum itu kedamaian,
keadilan, kefaedahan, kepastian hukum dan sebaginya. Kesemuanya itu
menunjukan bahwa hukum itu merupakan gejala masyarakat. Mengenai
pendapat dari beberapa pakar hukum, dapat diketengahkan sebagai berikut :
- Dr.Wirjono Projodikoro,SH
Dalam bukunya “Perbuatan Melanggar Hukum”, beliau katakan bahwa
tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib
dalam masyarakat.
- Prof. Subekti,SH
Dalam bukunya “Dasar-dasar Hukum dan Pengadilan”, beliau katakan
bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang intinya ialah
mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan rakyatnya.
- Prof.Mr.Dr.L.J.Apeldoorn
Dalam bukunya “
Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, beliau menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil.
- Aristoteles
Dalam bukunya “
Rhetorica”, beliau cetuskan teorinya bahwa
tujuan hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi daripada hukum
ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang adil dan apa yang tidak
adil.
- Jeremy Bentham
Dalam bukunya “
Introduction to the moral and legislation”, ia mengatakan bahwa hukum bertujuan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang.
- Prof.Mr.J.Van Kan
Tujuan hukum adalah menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu..
Fungsi Hukum
Secara umum fungsi hukum dapat dikatakan untuk menertibkan dan
mengatur pergaualan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah
yang timbul. Dalam perkembangan masyarakat saat ini, fungsi hukum dapat
terdiri dari :
- Sebagai alat pengetur tata tertib hubungan masyarakat.
- Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan social lahir dan batin.
- Sebagai sarana penggerak pembangunan.
- Sebagai fungsi kritis.
Agar fungsi-gungsi hukum dapat terlaksana dengan baik, maka bagi para
penegak hukum dituntut kemampuannya untuk melaksanakan dan menerapkan
hukum dengan baik, dengan seni yang dimiliki masing-masing petugas,
misalnya :menafsirkan hukum sesuai dengan keadilan dan posisi
masing-masing, serta bila diperlukan melakukan penafsiran analogis
penghalusan hukum.
Pengertian Tata Hukum
Hukum merupakan salah satu norma yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat disamping norma kesopanan, kesusilaan, dan norma agama.
Adapun tata hukum memiliki pengertian sebagai keseluruhan hukum yang
berlaku dalam tata pergaulan hidup bernegara. Tata hukum meliputi
berbagai macam aspek sudut pandang terhadap hukum itu sendiri, yakni :
- Hukum menurut bentuknya, yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
- Hukum menurut waktu berlakunya, yaitu ius constitutum (saat ini) dan ius constituendum (akan datang).
- Hukum menurut wilayah berlakunya, yaitu hukum local, nasional, dan internasional.
- Hukum menurut cara mempertahankannya, yaitu materil dan formal.
- Hukum menurut isinya, yaitu hukum public dan hukum privat atau sipil.
- Hukum Islam
Sejarah Tata Hukum Indonesia.
Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945
disebutkan bahwa segala badan negara dan peraturan yang telah ada
(buatan penjajah Belanda atau Jepang) masih langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini. Ketentuan
inilah yang menjadi dasar dari pembentukan tata hukum di Indonesia.
Ketentuan tersebut sekaligus juga sebagai jawaban bagi orang-orang yang
selalu bertanya, kenapa hukum buatan Belanda masih terus dipergunakan
sampai saat ini ?
Sistem hukum yang menjadi pondasi hukum bagi sebagian besar negara-negara di dunia setidaknya terbagi 3, yakni
Roman law system,
Common law system,
dan sistem Hukum Islam. Roman law system (Satjipto Rahardjo menyebutnya
dengan istilah sistem hukum Romawi-Jerman) dibentuk di benua Eropa yang
penggodokannya sejak abad ke-12 dan 13. Namun, oleh karena hukum
tersebut diinginkan untuk ditampilkan ke dalam konteks perkembangan
masyarakat, maka tidak aneh kalau kemudian gerakan yang ingin
menempatkan hukum Romawi tersebut berakibat merusak keasliannya. Dalam
perkembangannya sistem hukum ini dibuat dalam bentuk tertulis, tersusun
secara bulat dan sistematis dan masih mempunyai cirri pokok dengan
menggunakan pembagian dasar ke dalam hukum perdata dan hukum public.
Sebagai bekas negara jajahan Belanda, maka Indonesia mendapatkan warisan
sistem hukum yang dipakai di negara Belanda, yaitu
Roman law system.
Pelajaran hukum dan ilmu hukum di Indonesia, tampak sekali wujud
cirri-ciri sistem hukum tersebut. Lebih jauh lagi, para ahli hukum
ketika melanjutkan pendidikannya juga orientasinya lebih banyak ke
Belanda daripada ke negara-negara yang menjadi rumpun
Common law system. Bahkan pada umumnya para ahli hukum Indonesia menganggap secara tegas bahwa sistem hukum di Indonesia digolongkan pada
Roman law system.
Pandangan mayoritas yang menyetujui pengelompokan sistem hukum
Indonesia lebih cenderung kepada sistem hukum Romawi tidak seluruhnya
disetujui oleh para pakar hukum. Salah satunya ialah Prof. A. Qodri
Azizi dalam bukunya “Hukum Nasional:Eklektisisme Hukum Isalm & Hukum
Umum” menyatakan bahwa memang benar Indonesia pernah dijajah oleh
Belanda, namun sistem hukum yang ada sejak kemerdekaan sebenarnya tidak
seluruhnya sama dengan sistem hukum Belanda. Secara singkat, kalau
Belanda menganut aliran
Legisme, Indonesia menganut aliran
Rechtvinding-plus atau
Legal Realism-plus.
Sistem hukum
Common law sendiri identik dengan negara
Inggris, yang mulai abad ke 11 telah menjadi sebagai hukum kota di
Inggris. Mulai abad ke 16 jenis sistem hukum ini berpengaruh di Amerika
dan Australia dan kemudian berpengaruh pula di beberapa negara jajahan
Inggris di Asia dan Afrika.
Common law didasarkan pada ketentuan hukum yang lebih dulu (
judicial precedent),
bukan pada undang-undang, dan asalnya dari hukum tidak tertulis di
Inggris. Di sinilah inti perbedaan antara jenis sistem hukum
Common law dengan sistem hukum Romawi.
Sedangkan sistem hukum Islam merupakan hukum yang sumbernya berupa
ajaran dasar atau pokok-pokok dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi; sementara
itu, wujud riilnya dalam praktik lebih banyak didominasi oleh hasil
ijtihad ulama (fuqaha atau mujtahidin). Adanya sumber utama ini
merupakan perbedaan mendasar antara hukum Islam dengan sistem hukum yang
lain. Ini artinya, hasil ijtihad ulama yang disebut hukum Islam itu
kemudian dijadikan sumber untuk tersusunnya aturan atau undang-undang (
rules) dan dalam waktu bersamaan juga berupa ketentuan prinsip-termasuk
qawa’id fiqhiyyah (legal maxim)- yang dijadikan landasan para hakim (qadi) untuk membuat suatu keputusan terhadap kasus-kasus di pengadilan.
Daftar Pustaka
Azizy, A.Qodri, 2004, Hukum Nasional Eklektisisme Hukum Islam & Hukum Umum, Jakarta :
Teraju Mizan.
Kusmiaty dan Sulhi, 2003, Tata Negara, Jakarta : Bumi Aksara.
R.Soeroso, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika.
HAND OUT ILMU HUKUM
Oleh :H.M. Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan ke II
Pendahuluan
Pembawa hak, yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban disebut
subyek hukum. Jadi boleh dikatakan bahwa tiap manusia baik warga negara
maupun orang asing dengan tidak memandang agama maupun kebudayaannya
adalah subyek hukum. Manusia sebagai pembawa hak (subyek) mempunyai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan tindakan hukum. Ia dapat
mengadakan persetujuan, menikah, membuat wasiat dan sebagainya. Di
samping manusia pribadi sebagai subyek, terdapat pula badan-badan
(kumpulan manusia) yang oleh hukum diberik status “
persoon”
yang mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia yang disebut badan
hukum. Badan hukum sebagai pembawa hak yang tidak berjiwa dapat
melakukan sebagai pembawa hak manusia, memiliki kekayaan yang sama
sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya. Manusia sebagai mahluk
hidup yang berjiwa dan badan hukum yang tidak berjiwa dapat bertindak
sebagai subyek hukum.
Pengertian-pengertian Subyek Hukum
- Subyek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang
untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan
cakap untuk bertindak dalam hukum.
- Subyek hukum adalah sesuatu pendukung hak yang menurut hukum berwenang/berkuasa bertindak menjadi pendukung hak (Rechtsbevoegdheid) .
- Subyek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban.
Ada dua pengertian orang/person sebagai subyek hukum, yaitu :
- Natuurlijk person adalah men persoon, yang disebut orang atau manusia pribadi.
- Rechtsperson adalah yang berbentuk badan hukum yang dapat dibagi dalam publiek rechtperson yang memilikisifat unsur kepentingan umum seperti negara, daerah, dan privaat rechtsperson/ badan hukum privat yang mempunyai sifat unsure kepentingan individual.
Badan Hukum
Badan hukum terbagi 3 :
- Menurut bentuknya; terdiri atas :
- badan hukum publik.
- Badan hukum privat, yang terbagi atas 2 tujuan :
b.1. Tujuan tidak materialistik, seperti badan wakaf, yayasan social.
b.2.Tujuan memperoleh laba, seperti PT, koperasi.
2. Menurut jenisnya; terdiri atas :
a. Koporasi.
b. Yayasan
3. Menurut tata aneka warna hukum di Indonesia; terdiri atas :
a. Menurut hukum Eropa.
b. Menurut bukan hukum Eropa (Bumiputera)
c. Menurut hukum adat.
Obyek Hukum
Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum
(manusia/badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok permasalahan dan
kepentingan bagi para subyek hukum. Oleh karenanya dapat dikuasai oleh
subyek hukum. Biasanya obyek hukum adalah benda atau
zaak. Pengetahuan tentang benda terdapat penjelasannya secara luas pada Buku II KUH Perdata tentang hukum kebendaan atau
zaken recht yang berasal dari hukum barat. Menurut pasal 503,504 dan 505 KUH Perdata, benda dapat dibagi dalam beberapa kelompok :
Benda yang bersifat kebendaan, yang terdiri atas:
1.Benda bertubuh (bergerak / tidak tetap seperti mobil, perhiasan,
beras,minyak dan lain-lain, serta tidak bergerak/tetap seperti rumah,
sawah dan lain-lain).
2. Benda tidak bertubuh seperti merek, paten, hak cipta dan sebagainya.
Berkaitan dengan manusia, seiring dengan perkembangan zaman telah
terjadi perubahan yang sangat fundamental. Beberapa abad yang lalu,
dimana perbudakan masih terjadi, manusia terkadang dapat menjadi sebagai
obyek hukum, yakni pada saat hak dan kewajibannya sebagai subyek hukum
dicabut atau dilenyapkan. Namun seiring perkembangan demokrasi dan juga
martabat manusia, maka pada zaman modern dimana sistem perbudakan sudah
tidak diperkenankan lagi maka manusia tidak dapat lagi dijadikan sebagai
obyek hukum. Jika hal tersebut terjadi maka dapat dikategorikan
melanggar HAM. Dalam sudut pandang agama Islam pun demikian, sebagaimana
tertulis dalam surat Al Isra ayat 70 :
“Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, kami angkat mereka
di daratan dan dilautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik
dan Kami lebih mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan
mahluk yang telah kami ciptakan”.
HAND OUT ILMU HUKUM
Oleh :H.M. Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan ke III
Pengertian Peristiwa Hukum
Dalam konteks hukum suatu peristiwa atau kejadian terkadang dapat
masuk dalam ranah hukum, sehingga disebut sebagai peristiwa hukum, dan
di luar ranah hukum, sehingga disebut sebagai bukan peristiwa hukum.
Tentunya ke 2 peristiwa tersebut memiliki perbedaan yang mendasar
terutama yang berhubungan dengan konsekuensi yang harus ditanggung oleh
pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Untuk lebih memfokuskan serta memudahkan pemahaman mengenai peristiwa
hukum maka di bawah ini akan diuraikan beberapa pengertian tentang
peristiwa hukum, diantaranya yaitu :
- Peristiwa hukum ialah suatu rechtsfeit atau suatu kejadian hukum.
- Peristiwa hukum ialah suatu kejadian biasa dalam kehidupan sehari-hari yang akibatnya diatur oleh hukum.
- Peristiwa hukum ialah perbuatan dan tingkah laku subyek hukum
yang membawa akibat hukum, karena hukum mempunyai kekuatan mengikat
bagi subyek hukum atau karena subyek hukum itu terikat oleh
kekuatan hukum.
- Menurut Apeldoorn peristiwa hukum ialah peristiwa yang berdasarkan hukum menimbulkan atau menghapuskan hak.
- Menurut Bellefroid peristiwa hukum ialah peristiwa
sosial yang tidak secara otomatis dapat merupakan/menimbulkan
hukum. Suatu peristiwa dapat merupakan peristiwa hukum apabila
peristiwa itu oleh peraturan hukum dijadikan sebagai peristiwa
hukum.
Macam-Macam Peristiwa Hukum
Peristiwa hukum dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu :
- Peristiwa menurut hukum dan peristiwa melanggar hukum.
Contohnya kelahiran, kematian, pendudukan tanah, pencemaran laut,
jual beli, sewa menyewa, kredit di bank, pembunuhan dan sebagainya.
Selain itu pembunuhan, wanprestasi, pencemaran laut juga termasuk
peristiwa hukum, tepatnya peristiwa melanggar hukum.
- Peristiwa hukum tunggal dan peristiwa hukum majemuk. Contohnya
ialah hibah (untuk peristiwa hukum tunggal) dan jual beli yang
diawali dengan tawar menawar, penyerahan barang, penerimaan barang,
garansi / jaminan (untuk peristiwa hukum majemuk).
- Peristiwa hukum sepintas dan peristiwa hukum terus menerus.
Contohnya ialah tawar menawar (untuk peristiwa hukum sepintas) dan
perjanjian sewa menyewa (untuk persitiwa hukum terus menerus) karena
biasanya masa sewa akan terjadi dalam waktu yang relatif lama.
Hubungan Hukum
Hubungan hukum (
Rechtsbetrekkingen) ialah hubungan
antara dua atau lebih subyek hukum. Dalam hubungan hukum ini, hak dan
kewajiban pihak yang satu akan berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak
yang lain. Jadi setiap hubungan hukum mempunyai 2 segi, yaitu segi
kekuasaan / kewenangan / hak dan segi kewajiban. Dengan demikian hukum
sebagai himpunan peraturan yang mengatur hubungan sosial memberikan
suatu hak kepada subyek hukum untuk berbuat sesuatu atau menuntut
sesuatu yang diwajibkan oleh hak tersebut. Pada akhirnya terlaksananya
hak dan kewajiban itu dijamin oleh hukum. Mengenai hubungan hukum ini,
Logemann
berpendapat bahwa dalam tiap hubungan hukum terdapat pihak yang berhak
meminta prestasi dan pihak yang wajib melakukan prestasi. Setiap
hubungan hukum mempunyai 2 segi, yaitu kewenangan atau hak dan
kewajiban. Hak dan kewajiban ini keduanya timbul dari satu peristiwa
hukum dan lenyapnya pun bersamaan.
Unsur-unsur hubungan hukum setidaknya ada 3 hal, yaitu adanya para
pihak, obyek, dan hubungan antara pemilik hak dan pengemban kewajiban
atau adanya hubungan atas obyek yang bersangkutan. Berdasarkan hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum akan ada manakala adanya
dasar hukum yang melandasi setiap hubungan dan timbulnya peristiwa
hukum.
Jenis Hubungan Hukum
- Hubungan hukum yang bersegi 1. Dalam hal ini hanya satu pihak yang memiliki hak sedangkan lainnya hanya memiliki kewajiban.
- Hubungan hukum bersegi 2. Contohnya ialah perjanjian, dimana kedua belah pihak masing-masing memiliki hak dan kewajiban.
- Hubungan antara 1 subyek hukum dengan beberpa subyek hukum
lainnya. Contoh dalam hal sewa-menyewa, maka si pemilik memiliki
hak terhadap beberapa pihak / subyek hukum lainnya, yang menyewa di
lahan si pemilik.
HAND OUT ILMU HUKUM
Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan IV
Sumber Hukum
Pendahuluan
Layaknya sebuah “hasil” yang diberlakukan untuk orang banyak,
tentunya “hasil” tersebut akan senantiasa dipertanyakan berasal
darimanakah “hasil” yang telah dijadikan pedoman atau rujukan tersebut.
Setidaknya seperti itu jugalah suatu produk hukum yang diciptakan untuk
mengatur kelangsungan hidup manusia. Bersumber dari manakah hukum
tersebut ? Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor III / 2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan Pasal 1(yang telah diperbahrui
dengan UU No.10 Tahun 2004 tentang Tata cara pembentukan
perundang-undangan) disebutkan sebagai berikut :
- Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan penyusunan peraturan perundang-undangan.
- Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis.
- Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang
tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan batang tubuh UUD 1945.
Macam-macam sumber hukum
Sumber hukum formal meliputi beberapa macam, yaitu :
- Undang-undang. Undang-undang merupakan salah satu produk
lembaga legislative. Undang-undang di Indonesia dibuat secara
bersama antara DPR(Pasal 5 UUD 1945) dengan Presiden. Dalam praktek
ketatanegaraan di Indonesia sangat jarang sekali undang-undang
bisa muncul atas inisiatif DPR (Pasal 21 UUD 1945). Hal ini juga
menjadi pertanyaan yang cukup mendasar berkaitan dengan kinerja DPR
yang dianggap belum mampu untuk memunculkan draft RUU.
- Kebiasaan. Kebiasaan adalah aturan tidak tertulis yang berlaku
dan dipatuhi oleh masyarakat. Dalam ketatanegaraan aturan tidak
tertulis ini disebut convention.
Menurut Prof. Sudikno kebiasaan adalah tindakan menurut pola tingkah
laku yang tetap, ajeg, lazim, normal atau adapt dalam masyarakat atau
pergaulan hidup tertentu. Menurut
Utrecht, dalam
bukunya Pengantar Hukum Indonesia, menyebutkan bahwa hukum kebiasaan
ialah himpunan kaidah-kaidah yang biarpun tidak ditentukan oleh badan
pembuat perundang-undangan dalam suasana kenyataan ditaati juga, karena
orang sanggup menerima kaidah-kaidah itu sebagai hukum. Agar hukum
kebiasaan tersebut ditaati, maka harus memiliki 2 syarat yang harus
dipenuhi, yaitu sesuatu perbuatan yang tetap/terus dilakukan oleh orang,
dan adanya keyakinan bahwa perbuatan itu harus dilakukan karena telah
merupakan suatu kewajiban (
opinion necessitates).
Salah satu contoh ketentuan yang mengharuskan kebiasaan dijadikan
sumber hukum dapat dilihat dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang berbunyi :
“Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjiannya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang”.
- Yurisprudensi (Judge made law) adalah
keputusan seorang Hakim melalui tafsiran yang diikuti oleh Hakim lain
dalam menangani atau memutuskan perkara yang sama. Dalam prakteknya
keputusan Hakim yang dijadikan rujukan biasanya keputusan Hakim
tertinggi yang berada di Mahkamah Agung dan selanjutnya diikuti
oleh Hakim lain yang berada di bawahnya. Yurisprudensi dapat hidup
dan terus berlangsung selama Hakim yang lain menjadikan rujukan,
namun manakala Hakim lain sudah tidak menjadikannya sebagai rujukan
maka secara otomatis yurisprudensi tersebut dapat berangsur-angsur
hilang karena digantikan oleh yurisprudensi yang lebih baru.
Adapun alasan-alasan yang menyebabkan yurisprudensi tetap eksis
adalah adanya pertimbangan psikologis dari Hakim yang berada di
tingkat bawah untuk menghormati keputusan Hakim yang lebih tinggi.
Pertimbangan praktis juga cukup berperan dalam kelangsungan
yurisprudensi, dan faktor pendapat yang sama antara sesama Hakim.
Contoh yurisprudensi di masa lalu adalah yurisprudensi Belanda yang
diikuti oleh Indonesia pada tanggal 23 Mei 1921. Pengadilan
Belanda memutuskan bahwa pencurian tenaga alam seperti tenaga listrik
dapat juga dihukum berdasarkan pasal 362 tentang pencurian.
- Doktrin adalah pendapat para ahli hukum terkenal yang diikuti
para Hakim sebagai dasar pertimbangan dalam memberikan keputusan.
Oleh sebab itu doktrin baru bisa dikatakan sebagai sumber hukum
manakala telah dijadikan rujukan oleh Hakim dalam memutuskan suatu
perkara. Doktrin tidak hanya diakui di Indonesia sebagai salah satu
sumber hukum, namun juga telah diakui secara internasional. Hal
ini dapat dilihat dalam sumber hukum internasional (Mahkamah
Internasional).
- Traktat atau Perjanjian Internasional adalah kesepakatan yang
mengikat pihak-pihak atau negara-negara yang terlibat, baik dalam
bentuk bilateral maupun multilateral. Akibat dari suatu perjanian
yang mengikat para pihak disebut dengan “Pakta servanda”.
Pendapat berbagai pakar hukum
- Algra, membagi sumber hukum dalam bentuk materil
dan formil. Bentuk materil merupakan faktor yang membantu pembentukan
hukum, seperti hubungan sosial, kekuatan politik dan lain-lain.
Adapun formil merupakan tempat atau sumber darimana suatu peraturan
memperoleh kekuatan hukum, seperti UU, perjanjian antar negara,
yurisprudensi dan kebiasaan.
- Van Apeldoorn, membedakan sumber hukum menjadi 4 bagian, yaitu dalam arti histories seperti dokumen kuno, dalam arti sosiologis seperti pandangan agama, dalam arti filosofis , dan dalam arti formil.
- Achmad Sanusi, membagi sumber hukum menjadi 2 yaitu sumber
hukum normal seperti UU, perjanjian dan lain-lain, serta sumber
hukum abnormal seperti proklamasi dan revolusi.
Hand Out Ilmu Hukum
Oleh : H.M. Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan V
SUMBER TERTIB HUKUM & BENTUK-BENTUK PERATURAN PER-UU-AN
Pengantar
Salah satu tuntutan aspirasi yang berkembang dalam era reformasi
sekarang ini adalah reformasi hukum menuju terwujudnya supremasi sistem
hukum di bawah sistem konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar yang
efektif dalam proses penyelenggaraan negara dan kehidupan nasional
sehari-hari. Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif itu,
penataan kembali kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumberdaya
manusia dan kultur dan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat,
seiring dengan pembaruan materi hukum yang terstruktur secara harmonis,
dan terus menerus diperbarui sesuai dengan tuntutan perkembangan
kebutuhan.
Dalam upaya pembaruan hukum tersebut, penataan kembali susunan
hirarkis peraturan perundang-undangan tersebut bersifat niscaya,
mengingat susunan hirarkis peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia dewasa ini dirasakan tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kebutuhan dewasa ini.
Di samping itu, era Orde Baru
yang semula berusaha memurnikan kembali falsafah Pancasila dan
pelaksanaan UUD 1945 dengan menata kembali sumber tertib hukum dan
tata-urut peraturan perundang-undangan, dalam prakteknya selama 32 tahun
belum berhasil membangun susunan perundang-undangan yang dapat
dijadikan acuan bagi upaya memantapkan sistem perundang-undangan di masa
depan. Lebih-lebih dalam prakteknya, masih banyak produk peraturan yang
tumpang tindih dan tidak mengikuti sistem yang baku, termasuk dalam
soal nomenklatur yang digunakan oleh tiap-tiap kementerian dan
badan-badan pemerintahan seingkat Menteri. Sebagai contoh, produk hukum
yang dikeluarkan Bank Indonesia yang dimaksud untuk memberikan aturan
terhadap dunia perbankan menggunakan istilah Surat Edaran yang tidak
dikenal dalam sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa
kementerian mengeluarkan peraturan di bidangnya dengan menggunakan
sebutan Keputusan Menteri, dan beberapa lainnya menggunakan istilah
Peraturan Menteri. Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dengan
Keputusan Presiden yang bersifat penetapan administratif biasa tidak
dibedakan, kecuali dalam kode nomernya saja, sehingga tidak jelas
kedudukan masing-masing sebagai salah satu bentuk peraturan
perundang-undangan yang bersifat mengatur.
Sebelum membahas lebih rinci masalah-masalah dan usul-usul
penyempurnaan mengenai sumber tertib hukum dan sistem serta tata urut
peraturan Republik Indonesia di masa depan, perlu diperjelas dulu
pengertian kita mengenai sumber tertib hukum, dan mengenai bentuk-bentuk
serta tata urut peraturan yang kita gunakan dalam tulisan ini.
Pengertian tentang sumber tertib hukum memuat pengertian yang lebih
luas, yaitu tidak hanya mencakup aneka putusan legislatif dan eksekutif
yang dapat dijadikan sumber hukum, tetapi mencakup pula putusan-putusan
pengadilan dalam lingkungan kekuasaan judikatif. Sedangkan bentuk-bentuk
dan tata-urut peraturan hanya mencakup putusan-putusan cabang kekuasaan
legislatif dan eksekutif yang isinya dapat bersifat mengatur
(regeling), dan karena itu disebut dengan ‘per-ATUR-an’. Akan tetapi,
pengertian peraturan itu dalam arti luas dapat pula mencakup
putusan-putusan yang bersifat administratif yang meskipun tidak bersifat
mengatur, tetapi dapat dijadikan dasar bagi upaya mengatur kebijakan
yang lebih teknis.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PASCA KEMERDEKAAN
Di zaman Hindia Belanda, bentuk-bentuk peraturan yang dikenal
meliputi 5 tingkatan, yaitu: (I) Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda,
(ii) Undang-Undang Belanda atau
‘wet’, (iii) Ordonantie yaitu peraturan yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda bersama-sama dengan Dewan Rakyat (
Volksraad) di Jakarta sesuai Titah Ratu Kerajaan Belanda di Den Haag, (iv)
Regerings Verordening atau
RV, yaitu Peraturan Pemerintah yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal untuk melaksanakan Undang-Undang atau
‘wet’, dan (v) Peraturan daerah swatantra ataupun daerah swapraja
3.
Setelah Indonesia merdeka mulai diperkenalkan bentuk-bentuk peraturan
baru, tetapi dalam prakteknya belum teratur karena suasana belum
memungkinkan untuk menertibkan bentuk-bentuk peraturan yang dibuat. Di
masa-masa awal kemerdekaan, kadang-kadang nota-nota dinas, maklumat,
surat-surat edaran dan lain sebagainya diperlakukan sebagai peraturan
yang seakan mengikat secara hukum. Bahkan, Wakil Presiden mengeluarkan
Maklumat yang sangat terkenal yang isinya membatasi tugas dan fungsi
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang ketika itu sangat berperan
sebagai lembaga legislatif, tetapi maklumat itu dibuat tanpa nomor,
sehingga dikenal kemudian sebagai Maklumat No.x tertanggal 16 Oktober
1945.
Bentuk peraturan perundang-undangan yang dikenal dalam UUD 1945
adalah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti
Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah. Dalam penjelasan juga
disebutkan bahwa UUD adalah bentuk konstitusi yang tertulis. Di samping
yang tertulis itu masih ada pengertian konstitusi yang tidak tertulis
yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Dalam Konstitusi RIS yang
berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949, bentuk-bentuk peraturan yang
tegas disebut adalah Undang-Undang Federal, Undang-Undang Darurat, dan
Peraturan Pemerintah. Disini, pengertian Konstitusi diidentikkan dengan
pengertian UUD. Sedangkan dalam UUDS yang berlaku mulai tanggal 17
Agustus 1950, penyebutannya berubah lagi menjadi Undang-Undang,
Undang-Undang Darurat, dan Peraturan pemerintah. Dengan perkataan lain,
dalam ketiga konstitusi ini, kita mengenal adanya Undang-Undang Dasar,
Undang-Undang atau Undang-Undang Federal, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) atau Undang-Undang Darurat, dan Peraturan
Pemerintah.
Penyebutan hanya 3 atau 4 bentuk peraturan (termasuk UUD) tersebut
dalam Undang-Undang Dasar bersifat enunsiatif dalam arti tidak menutup
kemungkinan untuk mengatur bentuk-bentuk lain yang lebih rinci sesuai
dengan kebutuhan. Karena itu, setelah periode kembali ke UUD 1945, maka
berdasarkan Surat Presiden No.2262/HK/1959 tertanggal 20 Agustus 1959
yang ditujukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, dinyatakan
bahwa di samping bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan tersebut di
atas, dipandang perlu dikeluarkan bentuk-bentuk peraturan yang lain,
yaitu:
- Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit Presiden/Panglima
Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959 tentang Kembali Kepada UUD
1945.
- Peraturan Presiden, yaitu peraturan yang dikeluarkan untuk
melaksanakan penetapan Presiden, ataupun peraturan yang dikeluarkan
berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
- Peraturan Pemerintah, yaitu untuk melaksanakan Peraturan
Presiden, sehingga berbeda pengertiannya dengan Peraturan Pemerintah
yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945.
- Keputusan Presiden yang dimaksudkan untuk melakukan atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan.
- Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri yang dibuat oleh
kementerian-kementerian negara atau Departemen-Departemen pemerintahan,
masing-masing untuk mengatur sesuatu hal dan untuk melakukan atau
meresmikan pengangkatan-pengangkatan.
Dalam susunan tersebut di atas, jelas terdapat kekacauan antara satu
bentuk dengan bentuk peraturan yang lain. Bahkan, dalam praktek, bentuk
yang paling banyak dikeluarkan adalah Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden yang menimbulkan ekses dimana-mana. Kadang-kadang banyak materi
yang seharusnya diatur dalam UU, justru diatur dengan Penetapan
Presiden ataupun Peraturan Presiden. Yang lebih gawat lagi adalah banyak
di antara penetapan dan peraturan itu yang jelas-jelas menyimpang
isinya dari amanat UUD 1945. Namun demikian, satu hal yang perlu dicatat
disini adalah bahwa antara penetapan yang bersifat administratif berupa
pengangkatan-pengangkatan yang berisi putusan-putusan yang bersifat
‘beschikking’ jelas dibedakan dari putusan yang berbentuk mengatur
(regeling). Istilah Keputusan Presiden ataupun Keputusan Menteri secara
khusus dikaitkan dengan jenis putusan yang bersifat administraftif.
Dalam rangka penataan kembali bentuk-bentuk peraturan
perundang-undangan tersebut dengan maksud mengadakan pemurnian terhadap
pelaksanaan UUD 1945, maka pada tahun 1966 dikeluarkan Ketetapan MPRS
No.XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif
Negara
di Luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945. Ketetapan MPRS tersebut
menugaskan Pemerintah untuk bersama-sama dengan DPR melaksanakan
peninjauan kembali produk-produk legislatif, baik yang berbentuk
Penetapan Presiden, Peraturan Presiden, Undang-Undang, ataupun Peraturan
Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang. Untuk memberikan pedoman
bagi terwujudnya kepastian hukum dan keserasian hukum serta kesatuan
tafsir dan pengertian mengenai Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945 serta
untuk mengakhiri ekses-ekses dan penyimpangan-penyimpangan tersebut di
atas, ditetapkan pula sumber tertib hukum dan tata urut peraturan
perundangan Republik Indonesia dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966,
yaitu tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia dan Tata Urut Perundangan Republik Indonesia.
Dalam Ketetapan No.XX/MPRS/1966 tersebut, ditentukan bentuk peraturan dengan tata urut sebagai berikut:
- Undang-Undang Dasar.
- Ketetapan MPR.
- Undang-Undang/Perpu.
- Peraturan Pemerintah.
- Keputusan Presiden.
- Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain.
ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
PROSES PENGAJUAN, TEKNIK PENYUSUNAN DAN PENGUNDANGAN
PERATURANPERUNDANG-UNDANGAN
PENDAHULUAN
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan
Peraturan Perundang-undangan yang pada dasamya dimulai dari perencanaan,
persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,
pengundangan, dan penyebarluasan.
Sesuai dengan bunyi pasal 1 UU No. 10 tahun 2004 di atas, bahwa proses
sebuah peraturan menjadi legal dan mempunyai daya ikat atau kekuatan
hukum tetap harus melewati beberapa tahap. Adapun yang akan di bahas
dalam makalah ini hanya sebagian dari tahap-tahap di atas, yaitu tahap
persiapan, teknik penyusunan dan pengundangan.
Pertama, tahap persiapan ini menjelaskan bagaimana prosedur pengajuan
sebuah peraturan perundang-undangan. Karena terdapat berbagai jenis
bentuk peraturan perundang-undangan, dimana setiap jenisnya mempunyai
spesifikasi kewenangan legislasi (pembuatan peraturan) yang
berbeda-beda, maka perlu dijelaskan satu persatu sesuatu dengan hirarki
jenis/bentuk peraturan perundang-undangan tersebut.
Kedua, tahap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. dalam tahap
ini dapat dilihat lebih rinci di lampiran UU No. 10 tahun 2004. Akan
tetapi dalam lampiran tersebut hanya menjelaskan teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan secara umum, khususnya mengenai Peraturan
Daerah terdapat aturan tersendiri. Ketiga, Tahap Pengundangan sangatlah
penting bagi sebuah peraturan perundang-undangan, karena dengan adanya
pengundangan ini sebuah peraturan perundang-undangan mempunyai daya ikat
atau kekuatan hukum tetap dan dapat dilaksanakan.
Selain itu hal yang perlu diperhatikan adalah pada tahap perencanaan
peraturan perundang-undangan telah diatur mengenai Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) dan Program Legislasi Daerah dalam rangka
penyusunan peraturan perundang-undangan secara terencana, bertahap,
terarah, dan terpadu. Oleh karena itu, untuk menunjang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, diperlukan peran tenaga perancang
peraturan perundang-undangan sebagai tenaga fungsional yang berkualitas
yang mempunyai tugas menyiapkan, mengolah, dan merumuskan rancangan
peraturan perundang-undangan.
I. PROSES PENGAJUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A.Undang-Undang(UU)
Rancangan undang-undang yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah
adalah rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah dapat
diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh
menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen, sesuai dengan
lingkup tugas dan tanggung jawabnya.
Rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat
diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pengusulan rancangan undang-undang baik dari DPR atau DPD
diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat dan
Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah.
Penyebarluasan rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan
Perwakilan Rakyat dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal Dewan
Perwakilan Rakyat. Dan Penyebarluasan rancangan undang-undang yang
berasal dari Presiden dilaksanakan cleh instansi pemrakarsa.
Dalam rangka penyiapan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang,
masyarakat dapat memberikan masukan kepada Pemrakarsa. Masukan dilakukan
dengan menyampaikan pokok-pokok materi yang diusulkan. Masyarakat dalam
memberikan masukan harus menyebutkan identitas secara lengkap dan
jelas.
B.Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Pengajuan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilakukan dalam bentuk pengajuan
rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang menjadi undang-undang.
C. Peraturan Pemerintah
Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah, Pemrakarsa membentuk
Panitia Antardepartemen. Tata cara pembentukan Panitia Antardepartemen,
pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan
Pemerintah kepada Presiden berlaku mutatis mutandis ketentuan Bab II
tentang Penyusunan Undang-Undang.
D.Peraturan Presiden
Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, Pemrakarsa dapat
membentuk Panitia Antardepartemen. Tata cara pembentukan Panitia
Antardepartemen, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian
Rancangan Peraturan Presiden kepada Presiden berlaku mutatis mutandis
ketentuan Bab II tentang Penyusunan Undang-Undang.
E. Peraturan Daerah (Perda)
Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan rakyat
daerah atau gubernur, atau bupati/walikota, masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota. Rancangan peraturan
daerah yang telah disiapkan oleh gubernur atau bupati/walikota kemudian
disampaikan dengan surat pengantar gubernur atau bupati/walikota kepada
dewan perwakilan rakyat daerah oleh gubernur atau bupati/walikota.
Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh dewan perwakilan
rakyat daerah disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah
kepada gubernur atau bupati/walikota.
Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas
masing-masing daerah. Dan dilarang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jenis Produk
Hukum Daerah terdiri atas :
a. Peraturan Daerah;
b. Peraturan Kepala Daerah;
c. Peraturan Bersama Kepala Daerah;
d. Keputusan Kepala Daerah; dan
e. Instruksi Kepala Daerah.
II. TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang berdasarkan Prolegnas,
Pemrakarsa membentuk Panitia Antardepartemen. Keanggotaan Panitia
Antardepartemen terdiri atas unsur departemen dan lembaga pemerintah
nondepartemen yang terkait dengan substansi Rancangan Undang-Undang.
Panitia Antardepartemen dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh
Pemrakarsa.Panitia Antardepartemen penyusunan Rancangan Undang-Undang
dibentuk setelah Prolegnas ditetapkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Penyusunan Rancangan Undang-Undang yang didasarkan Prolegnas tidak
memerlukan persetujuan izin prakarsa dari Presiden.
Dalam keadaan tertentu, Pemrakarsa dapat menyusun Rancangan
Undang-Undang di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan
permohonan izin prakarsa kepada Presiden. Dalam rangka penyusunan
konsepsi Rancangan Undang-Undang di luarProlegnas, Pemrakarsa wajib
mengkonsultasikan konsepsi tersebut kepada Menteri dalam rangka
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Undang-Undang. Kemudian Menteri mengkoordinasikan pembahasan konsepsi
tersebut dengan pejabat yang bewenang mengambil keputusan, ahli hukum,
dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari lembaga Pemrakarsa
dan lembaga terkait lainnya. Apabila dipandang perlu, koordinasi dapat
pula melibatkan perguruari tinggi dan atau organisasi.
Yang dimaksud dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan
disini adalah teknik atau susunan dalam membuat sebuah peraturan
perundang-undangan. hal ini dijelaskan dalam lampiran UU No. 10 Tahun
2004. Secara garis besar susunan dari sebuah peraturan
perundang-undangan adalah sebagai berikut :
A. JUDUL
B. PEMBUKAAN
1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
3. Konsiderans
4. Dasar, Hukum
5. Diktum
C. BATANG TUBUH
1. Ketentuan Umum
2. Materi Pokok yang Diatur
3. Ketentuan Pidana (Jika diperlukan)
4. Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan)
5. Ketentuan Penutup
D. PENUTUP
E. PENJELASAN (Jika diperlukan)
F. LAMPIRAN (Jika diperlukan)
Sedangkan rincian dari pointer di atas dapat dilihat pada lampiran UU
No. 10 tahun 2004 karena begitu banyaknya spesifikasi atau rinciannya.
Khusus untuk proses penyusunan produk hukum daerah mempunyai aturan
tersendiri yang diatur dalam PMDN No.16 tahun 2006 Tentang Prosedur
Penyusunan Produk Hukum Daerah.
Pimpinan satuan kerja perangkat daerah menyusun rancangan produk hukum
daerah. Selain itu penyusunan produk hukum daerah juga dapat
didelegasikan kepada Biro Hukum atau Bagian Hukum. Ketua Tim Antar
Satuan Kerja Perangkat Daerah melaporkan perkembangan rancangan produk
hukum daerah dan/atau permasalahan kepada Sekretaris Daerah untuk
memperoleh arahan. Pembahasan rancangan peraturan daerah di Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, baik atas inisiatif pemerintah maupun atas
inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dibentuk tim asistensi dengan
sekretariat berada pada Biro Hukum atau Bagian Hukum.
III. PENGUNDANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Suatu peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan atau ditetapkan
baru dapat berlaku mengikat umum apabila telah diundangkan dalam Suatu
Lembaran Negara (LN) atau Berita Negara. Dan Lembaran Daerah dan Berita
Daerah untuk Peraturan Perundang-undangan tingkat Daerah.
Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
Istilah Pengundangan atau Afkondiging atau Promulgation dapat berarti
juga Publicate atau Publication. Yang dimaksud pengundangan di sini
adalah pemberitahuan secara formal suatu peraturan negara dengan
penempatannya dalam suatu penerbitan resmi yang khusus untuk maksud itu
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Landasan perlunya suatu
pengundangan adalah een eider wordt geacht de wet te kennen (setiap
orang dianggap mengetahui undang-undang) atau ignorantia iuris neminem
excusat/ignorance of the law excuses no man (ketidaktahuan seseorang
terhadap undang-undang tidak memaafkannya).
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam
a. Lembaran Negara Republik Indonesia;
b. Berita Negara Republik Indonesia;
c. Lembaran Daerah; atau
d. Berita Daerah.
Peraturan Perandang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, meliputi:
a. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang;
b. Peraturan Pemerintah;
c. Peraturan Presiden mengenai:
1. perigesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional; dan
2. peryataan keadaan bahaya.
d. Perataran Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Sedangkan Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia. Letak pasal yang mengatur pengundangan ini biasanya
terletak dalam ketentuan penutup.
Adapun pengundangan peraturan daerah atau sebutan lainnya dan pengumuman
peraturan kepala daerah serta peraturan bersama kepala daerah dilakukan
oleh sekretaris daerah (sekda) dan dapat didelegasikan kepada kepala
Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum.
PENUTUP
Untuk mewujudkan negara hukum tersebut diperlukan tatanan yang tertib
(good Governance) antara lain di bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan. Tertib Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
harus dirintis sejak saat perencanaan sampai dengan pengundangannya
supaya tidak kehilangan arah atau tujuan (loss purpose) sebagai negara
hukum (rechtstaat). Untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang
baik, diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem,
asas, tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik, penyusunan maupun
pemberlakuannya.
PRODUK LEGISLATIF DAN PRODUK ADMINISTRATIF
- Pergeseran Fungsi Parlemen Indonesia dan implikasinya terhadap Kegiatan legislasi
Salah satu perubahan substantif yang telah dilakukan dalam rangka
Perubahan Pertama UUD 1945 pada Sidang Umum MPR bulan Nopember 1999 lalu
adalah soal cabang kekuasaan legislatif yang secara tegas dipindahkan
dari Presiden ke DPR. Dalam Pasal 5 ayat (1) lama, ditegaskan bahwa
Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan
DPR. Sedangkan dalam Pasal 5 ayat (1) baru berdasarkan Perubahan Pertama
tersebut ditegaskan: “Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.” Sebaliknya dalam Pasal 20
ayat (1) baru dinyatakan: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang.”
5
Memang benar bahwa meskipun dikatakan pemegang kekuasaan membentuk UU
itu dipindahkan ke DPR, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa proses
pembuatan UU itu tetap dilakukan bersama-sama antara Presiden dengan
DPR. Lagi pula, meskipun UU ditetapkan oleh DPR, kekuassan yang
mengesahkan menurut ketentuan Perubahan Pertama UUD tetap berada
di
tangan Presiden. Apakah perbedaan antara kekuasaan yang menetapkan
dengan kekuasaan yang mengesahkan itu bersifat bertentangan? Menurut
saya, tidak ada pertentangan dan tidak ada tumpang tindih
di antara kedudukan DPR dan Presiden dalam hal ini. Kekuasaan legislatif tetap berada
di
tangan DPR, namun pengesahan formal produk UU itu dilakukan oleh
Presiden. Hal ini justru menunjukkan adanya perimbangan kekuasaan
diantara keduanya, yaitu hak Presiden untuk memveto suatu UU yang sudah
ditetapkan oleh DPR. Untuk menegaskan hal inilah maka dalam Perubahan
Kedua ketentuan Pasal 20 itu ditambah dengan ayat (5) yang memberikan
waktu 30 hari bagi Presiden untuk mengesahkan UU itu. Jika dalam batas
waktu itu tidak disahkan, maka RUU tersebut dianggap berlaku menjadi UU.
Proses pembuatan UU itu dilakukan bersama-sama dalam arti pada tahap
pembahasan
di DPR, pihak pemerintah sudah terlibat intensif. Akan tetapi, dapat terjadi, bahwa suara partai pemerintah
di
DPR dikalahkan oleh suara oposisi. Dalam hal ini, maka Presiden dapat
menggunakan hak vetonya untuk tidak mengesahkan UU yang sudah disetujui
oleh DPR tersebut seperti juga dipraktekkan
di Amerika Serikat.
Hanya saja, memang masih perlu diatur agar penggunaan hak veto
Presiden ini dibatasi. Jangan sampai nanti, setiap UU yang dibuat oleh
DPR selalu dapat digagalkan dengan mudah oleh Presiden dengan
menggunakan hak vetonya. Apabila misalnya parlemen kita bersifat
bikameral nantinya disetujui terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan atau Utusan Daerah, maka dapat saja terjadi bahwa suatu
Undang-Undang, setelah disetujui oleh DPR, dimajukan untuk mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Daerah. Dalam hal demikian ini, maka veto
Presiden dapat dinyatakan tidak berlaku, karena Rancangan UU tersebut
sudah disetujui oleh dua lembaga tinggi negara setingkat Presiden. Tugas
administratif Presiden tinggal hanya mengundangkan UU sebagaimana
mestinya. Namun dalam sistem parlemen unikameral seperti yang sekarang
berlaku, mekanisme pembatasan terhadap hak veto Presiden itu masih harus
dikaji lebih lanjut cara membatasinya. Misalnya, dapat saja
dipertimbangkan pengaturan sebagai berikut. Jika suatu rancangan UU
telah disetujui oleh lebih dari 2/3 anggota DPR, maka hak veto Presiden
tidak dapat diberlakukan. Demi kepentingan hukum, Presiden harus
mengsahkan UU itu sebagaimana mestinya. Akan tetapi, jika suatu UU itu
hanya mendapat persetujuan suara
di bawah jumlah 2/3
anggota DPR, maka Presiden dapat diberikan hak untuk menerapkan hak
vetonya dengan cara tidak mengesahkan UU tersebut. Dengan demikian,
pergeseran kekuasaan membentuk UU dari Presiden ke DPR sungguh-sungguh
mencerminkan terjadinya pergeseran terhadap kedudukan DPR yang secara
substantif menjadi lembaga pemegang kekuasaan legislatif. Sedangkan
Presiden, meskipun tetap diberikan hak inisiatif
di bidang legislasi, hal itu tetap tidak menempatkan Presiden sebagai pemegang kekuasaan utama
di
bidang ini. Hal ini jelas berbeda dari sistem yang dianut selama ini,
dimana antara fungsi legislatif dan eksekutif tidak dipisahkan secara
tegas dan malah bersifat tumpang tindih. Perubahan ini sekaligus
memastikan pula bahwa UUD 1945 dengan sungguh-sungguh menerapkan sistem
pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, karena
berdasarkan ketentuan yang lamapun kekuasaan judikatif memang dinyatakan
bebas dari pengaruh pemerintah.
Perkembangan pemikiran dan praktek penyelenggaraan fungsi legislatif ini sebenarnya dapat dibahas tersendiri mengingat
di berbagai negara
di
dunia dewasa ini, fungsi legislatif parlemen itu memang cenderung makin
dianggap tidaklah lebih penting dibandingkan dengan fungsi kontrol atau
pengawasan politik terhadap pemerintah. Fungsi pembuatan undang-undang
itu bahkan mulai cenderung dianggap sebagai fungsi teknis dibandingkan
dengan fungsi pengawasan yang bersifat politis
6. Akan tetapi,
rakyat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan bahwa di masa depan kita
akan menganut ajaran pemisahan yang tegas di antara ketiga cabang
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Karena itu, fungsi
pembuatan undang-undang itu dipertegas sebagai kekuasaan DPR, bukan lagi
kekuasaan Presiden. Masalahnya kemudian yang perlu mendapat perhatian
adalah bahwa pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR itu
tentunya mengandung implikasi yang mendasar terhadap proses pembentukan
peraturan perundang-undangan dan terhadap institusi atau pejabat yang
berwenang membuat peraturan perundang-undangan itu sendiri.
Dalam sistem yang lama dimana dinyatakan bahwa Presiden memegang
kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, maka kekuasaan
Presiden dan termasuk para pembantunya serta para pejabat pemerintahan
seperti Direktur Jenderal Departemen sampai pejabat yang lebih rendah
juga mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan peraturan pada tingkat
pelaksanaan di bidangnya masing-masing. Peraturan pelaksanaan ini makin
rendah tingkatannya makin teknis pula sifatnya. Akan tetapi, dengan
adanya pergeseran sebagaimana disebut di atas, sudah seharusnya ditinjau
kembali logika yang memberikan pembenaran terhadap pola pengaturan
seperti itu. Para Direktur Jenderal dan Direktur sebagai pejabat tinggi
(eselon I atau eselon II) yang tunduk kepada hukum kepegawai-negerian
tidak selayaknya diberikan wewenang untuk turut membentuk peraturan
perundang-undangan dalam pengertian yang baru. Sesuai tingkatannya,
instansi dan pejabat yang berhak membuat peraturan haruslah dibatasi
hanya lembaga parlemen bersama-sama dengan pejabat yang memegang
kedudukan politik saja, bukan mereka yang memegang kedudukan sebagai
pegawai pemerintahan.
Lembaga parlemen yang dimaksud sesuai tingkatannya adalah DPR-Pusat, DPRD propinsi, dan DPRD kabupaten/kota
7
yang merupakan badan-badan perwakilan rakyat. Khusus untuk tingkat
desa, meskipun tidak terdapat lembaga parlemen sebagaimana mestinya,
dibentuk Badan Perwakilan Desa sebagaimana diatur dalam Pasal 94 juncto
Pasal 102, 104, dan Pasal 105 UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Pasal 105 ayat (3) UU ini menyatakan: “Badan Perwakilan Desa
bersama dengan Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa. Bentuk hukum
peraturan-peraturan tersebut, masing-masing adalah UU di tingkat Pusat,
Peraturan Daerah propinsi, Peraturan Daerah kabupaten, Perdaturan Daerah
kota
8, dan Peraturan Desa, sama-sama merupakan bentuk
peraturan yang proses pembentukannya melibatkan peran wakil rakyat dan
kepala pemerintahan yang bersangkutan. Untuk melaksanakan peraturan
perundangan yang melibatkan peran para wakil rakyat tersebut, maka
kepala pemerintahan yang bersangkutan juga perlu diberikan wewenang
untuk membuat peraturan-peraturan yang bersifat pelaksanaan. Karena itu,
selain UU, Presiden juga berwenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah
dan Peraturan Presiden (
Pouvoir Reglementair). Demikian pula,
Gubernur, Bupati, Walikota dan Kepala Desa, selain bersama-sama para
wakil rakyat membentuk Perda dan Peraturan Desa, juga berwenang
mengeluarkan Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota, dan
Peraturan Kepala Desa sebagai pelaksanaan terhadap peraturan yang lebih
tinggi tersebut. Karena banyaknya kebijakan pemerintahan yang perlu
dituangkan dalam bentuk peraturan yang bersifat pelaksanaan terhadap
peraturan yang lebih tinggi, maka para Pembantu Presiden, yaitu para
Menteri atau Pejabat Tinggi yang menduduki jabatan politis setingkat
Menteri seperti Gubernur Bank Indonesia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian,
dan Panglima Tentara Nasional Indonesia, dapat pula diberikan
kewenangan untuk membuat peraturan yang bersifat pelaksanaan tersebut.
Dengan demikian, secara tegas dapat diatur bahwa semua kebijakan yang
bersifat mengatur di bidang yang menjadi tugas kementerian tertentu,
haruslah dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri atau pejabat
setingkat Menteri. Sedangkan Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal dan
pejabat yang lebih rendah di tiap-tiap kementerian atau Departemen
Pemerintahan tidak berwenang mengatur kepentingan publik. Para pejabat
administratif itu pada prinsipnya hanya melaksanakan kebijakan dan
peraturan yang ditetapkan oleh Menteri sebagai pemegang tanggungjawab
politik di kementerian atau Departemennya. Demikian pula dengan para
Kepala Kantor Wilayah Departemen di daerah-daerah tidak diperkenankan
membuat peraturan yang mengatur kepentingan publik. Tugas Kepala Kantor
Wilayah hanyalah melaksanakan kebijakan dan peraturan-peraturan di
tingkat Departemennya. Dalam hal diperlukan pengaturan yang bersifat
khusus di daerah, maka ketentuan demikian itu harus dituangkan dalam
bentuk Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur.
Selain itu, sebagaimana dikemukakan oleh Hamid Attamimi, Keputusan
Presiden yang bersifat pengaturan dapat pula bersifat mandiri dalam arti
tidak dimaksudkan melaksanakan Undang-Undang ataupun mengatur hal-hal
yang ditunjuk oleh undang-undang untuk diatur lebih oleh Presiden. Jenis
Keputusan Presiden demikian itu disebut Hamid Attamimi sebagai
Keputusan Presiden yang mendiri. Logika pengaturan yang mandiri oleh
Presiden ini, meskipun banyak dipersoalkan di kalangan para ahli hukum,
tetapi dapat saja diterima dalam paradigma pemikiran UUD 1945 yang lama,
yaitu karena Presidenlah yang ditentukan dalam UUD sebagai pemegang
kekuasaan utama dalam pembentukan undang-undang. Akan tetapi, dalam
ketentuan yang baru berdasarkan Perubahan Pertama UUD, maka logika yang
mungkin dapat dijadikan pertimbangan pembenar terhadap eksisten
Keputusan yang mengatur secara mandiri tersebut dengan sendirinya tidak
dapat diterima lagi. Pada prinsipnya, Presiden bukan lagi pemegang
kekuasaan utama dalam pembentukan UU. Kalaupun Presiden diberi hak untuk
mengajukan rancangan undang-undang, hak itu tidak memberikan kedudukan
kepadanya sebagai pemegang kekuasaan legislatif, melainkan sekedar
memberikan hak kepadanya untuk mengambil inisiatif karena kebutuhan yang
sangat dirasakan oleh pihak eksekutif untuk mengatur suatu kebijakan
publik yang harus dilayani oleh pemerintah, tetapi pihak DPR sendiri
belum siap dengan rancangan dari mereka sendiri. Dalam hal ini, Presiden
dapat mengambil prakarsa untuk menyusun rancangan undang-undangan
tersebut dan kemudian mengajukannya kepada DPR. Oleh karena tidak boleh
ada lagi peraturan-peraturan untuk kepentingan pengaturan kepentingan
publik yang dibuat Presiden atau Pemerintah secara mandiri. Semua
peraturan di bawah undang-undang hanyalah merupakan pelaksanaan lebih
lanjut dari Peraturan Dasar dan Undang-Undang.
Satu-satunya peraturan yang dapat berisi pengaturan yang mandiri
hanyalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang dari segi
isinya seharusnya dituangkan dalam bentuk UU, namun dari segi proses
pembuatannya ataupun karena adanya faktor eksternal berupa keadaan
bahaya atau kegentingan yang memaksa, maka oleh Presiden dapat
ditetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti UU (PERPU) yang
bersifat mandiri. Perpu tersebut harus diajukan untuk mendapat
persetujuan DPR menjadi UU selambat-lambatnya 1 tahun sejak
dikeluarkannya PERPU tersebut, dan apabila tidak disetujui harus dicabut
kembali oleh Presiden. Jadi, dalam sistem pemisahan kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif, Presiden tidak dapat lagi membuat
peraturan-peraturan yang bersifat mandiri seperti kedudukan Keputusan
Presiden pada masa lalu. Satu-satunya peraturan yang ditetapkan oleh
Presiden dengan sifat mandiri adalah Peraturan Pemerintah sebagai
Pengganti Undang-Undang seperti dikemukakan di atas. Karena itu,
eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) ini saya
usulkan tetap dipertahankan dengan perubahan fungsi seperti yang
dikemukakan di atas.
- Peraturan yang Mengatur dan Keputusan yang bersifat Administratif.
Dalam rangka penyusunan tertib peraturan perundang-undangan yang
baru, perlu dibedakan dengan tegas antara putusan-putusan yang bersifat
mengatur (
regeling) dari putusan-putusan yang bersifat penetapan administratif (
beschikking).
Semua pejabat tinggi pemerintahan yang memegang kedudukan politis
berwenang mengeluarkan keputusan-keputusan yang bersifat administratif,
misalnya untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat, membentuk dan
membubarkan kepanitiaan, dan sebagainya. Secara hukum, semua jenis
putusan tersebut dianggap penting dalam perkembangan hukum nasional.
Akan tetapi, pengertian peraturan perundang-undangan dalam arti sempit
perlu dibatasi ataupun sekurang-kurangnya dibedakan secara tegas karena
elemen pengaturan (
regeling) kepentingan publik dan menyangkut
hubungan-hubungan hukum atau hubungan hak dan kewajiban di antara sesama
warganegara dan antara warganegara dengan negara dan pemerintah. Elemen
pengaturan (
regeling) inilah yang seharusnya dijadikan
kriteria suatu materi hukum dapat diatur dalam bentuk peraturan
perundang-undangan sesuai dengan tingkatannya secara hirarkis. Sebagai
contoh, Keputusan Presiden mengangkat seseorang menjadi Menteri ataupun
mengangkat dan memberhentikan seorang Pejabat Eselon I di satu
Departemen, ataupun menaikkan pangkat seorang pegawai negeri sipil ke
pangkat yang lebih tinggi. Contoh lain, misalnya, Keputusan Menteri yang
menetapkan pembentukan Panitia Nasional peringatan hari ulang tahun
Departemen tertentu, ataupun mengangkat dan memberhentikan pegawai
negeri sipil, dan lain-lain sebagainya. Materi-materi yang dituangkan
dalam bentuk Keputusan Presiden ataupun Keputusan Menteri seperti
tersebut tidaklah mengandung elemen regulasi sama sekali. Sifatnya hanya
penetapan administratif
(beschikking). Dalam arti luas,
keputusan-keputusan tersebut memang mengandung muatan hukum, karena di
dalamnya berisi hubungan-hubungan hak dan kewajiban dari para pihak yang
terlibat di dalamnya yang terbit karena putusan pejabat yang berwenang
dan juga didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah. Akan
tetapi, untuk kepentingan tertib peraturan perundang-undangan,
bentuk-bentuk hukum yang bersifat adminsitratif tersebut, sebaiknya
disebut dengan istilah yang berbeda dari nomenklatur yang digunakan
untuk bentuk-bentuk formal peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, yang termasuk dalam pengertian peraturan
perundang-undangan dalam arti sempit itu adalah UUD dan dokumen yang
sederajat, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Peraturan Menteri dan Pejabat setingkat Menteri. Peraturan Daerah,
Peraturan Gubernur, Bupati/Walikota, dan Peraturan Desa serta Peraturan
Kepala Desa. Sedangkan bentuk-bentuk putusann lainnya dapat dinamakan
Ketetapan atau Keputusan dengan tingkatan yang sederajat dengan
peraturan yang terkait. Misalnya, Ketetapan dan Keputusan MPR, meskipun
bukan peraturan dalam pengertian yang baru, tetapi tingkatannya
sederajat dengan UUD dan Naskah Perubahan UUD yang sama-sama merupakan
produk MPR. Keputusan Presiden dapat disetarakan tingkatannya dengan
Peraturan Presiden, Keputusan Menteri sederajat dengan Peraturan
Menteri, Keputusan Gubernur dengan Peraturan Gubernur, Keputusan
Bupati/Walikota dengan Peraturan Bupati/Walikota, dan seterusnya.
Mengingat tingkatannya sederajat dengan bentuk-bentuk peraturan yang
dikeluarkan oleh pejabat berwenang terkait (
ambtsdrager), maka
tidak ada salahnya apabila dalam susunan tata urut peraturan
perundang-undangan yang baru nanti, bentuk keputusan administratif
tersebut juga turut dicantumkan dengan pengertian bahwa putusan-putusan
tersebut bersifat administratif
(beschikking) dan tidak berisi
pengaturan terhadap kepentingan umum (publik). Keputusan-keputusan yang
bersifat administratif ini tidak dapat kita kategorikan sebagai
peraturan perundang-undangan.
Di luar bentuk-bentuk peraturan yang bersifat mengatur itu, memang ada pula bentuk-bentuk peraturan yang disebut dengan
‘beleidsregels’ (policy rules)
atau peraturan kebijakan. Bentuk peraturan kebijakan ini memang dapat
juga disebut peraturan, tetapi dasarnya hanya bertumpu pada aspek
‘doelmatigheid’ dalam rangka prinsip
‘freis ermessen’ atau
‘beoordelingsvrijheid’,
yaitu prinsip kebebasan bertindak yang diberikan kepada pemerintah
untuk mencapai tujuan pemerintahan yang dibenarkan menurut hukum.
Berdasarkan prinsip ini, sudah seyogyanya suatu pemerintahan itu
diberikan ruang gerak yang cukup untuk berkreatifitas dalam usahanya
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, yang tidak selalu atau bahkan
tidak mungkin ditentukan secara rinci dalam bentuk peraturan-peraturan
yang kaku. Inilah yang pada mulanya menjadi dasar pembenar sehingga
muncul Keputusan-Keputusan Presiden yang turut mengatur, meskipun bukan
dalam arti
‘regeling’ (public regulation). Akan tetapi, agar
kita konsisten dan konsekwen mengikuti sistematika pemisahan kekuasaan
legislatif dan eksekutif secara tegas, saya mengusulkan kiranya prinsip ‘
freis ermessen’
tersebut di atas tidak digunakan sepanjang menyangkut pembuatan
peraturan dalam arti teknis. Prinsip kebebasan bertindak itu cukup
diimplementasikan dalam bentuk Instruksi Presiden ataupun
Keputusan-Keputusan yang tidak diperlakukan sebagai peraturan.
ANALISIS TERHADAP TAP MPR NO.III.MPR/2000 dan Implikasinya terhadap Perda
Dalam rangka pembaruan sistem peraturan perundang-undangan kita di
era reformasi dewasa ini, Sidang Tahun MPR Tahun 2000 telah menetapkan
Ketetapan No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan. Dalam Pasal 2 ditentukan bahwa tata urutan
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
- Undang-Undang Dasar 1945.
- Ketetapan MPR-RI.
- Undang-Undang.
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
- Peraturan Pemerintah.
- Keputusan Presiden.
- Peraturan Daerah.
Perumusan mengenai bentuk dan tata urutan ketujuh peraturan
perundang-undangan di atas dapat dikatakan kurang sempurna dan
mengandung beberapa kelemahan. Pertama, karena naskah Perubahan UUD
sekarang dibuat terpisah, maka seharusnya penyebutan UUD 1945 tersebut
di atas dilengkapi dengan ‘… dan Perubahan UUD’. Kedua, penyebutan Perpu
pada nomer urut keempat di bawah undang-undang dapat menimbulkan
penafsiran seakan-akan kedudukan perpu itu berada di bawah UU. Padahal,
kedudukan hukum keduanya adalah sederajat. Karena itu, seharusnya,
seperti dalam TAP No.XX/MPRS/1966, keduanya ditempat pada nomor tiga,
yaitu ‘Undang-Undang dan Perpu’. Ketiga, penggunaan nomenklatur
Keputusan Presiden yang selama ini dipakai mengandung kelemahan karena
tidak membedakan secara tegas antara keputusan yang mengatur
(regeling) dengan keputusan yang bersifat administratif belaka (
beschikking).
Seharusnya, momentum reformasi ini digunakan sebaik-baiknya untuk
menata kembali peristilahan yang baik dan benar, yaitu untuk keputusan
yang mengandung aturan dan pengaturan, dokumen hukumnya sebaiknya
dinamakan Per-ATUR-an, bukan keputusan. Keempat, hanya karena
pertimbangan bahwa MPR cukup mengatur mengenai tata urutan peraturan
sampai tingkat peraturan yang ditetapkan oleh Presiden, maka bentuk
Peraturan Menteri tidak disebut dalam tata urutan tersebut. Padahal, di
bawahnya masih disebut Peraturan Daerah yang tingkatan-nya juga di bawah
peraturan yang ditetapkan oleh Presiden. Padahal, Peraturan Menteri itu
sangat penting untuk ditempatkan dalam tata urutan di atas Perda, di
samping produk peraturan tingkat menteri itu dalam praktek banyak sekali
ditetapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari dan
memerlukan penertiban sebagaimana mestinya.
Selanjutnya, dalam Pasal 3 ayat (7) diatur mengenai pengertian
Peraturan Daerah yang di dalamnya tercakup pengertian Peraturan Daerah
Propinsi, Peraturan Daerah Kabupaten, dan Peraturan Desa. Hal ini dapat
mengundang penafsiran bahwa ketiganya memiliki kedudukan yang sama,
yaitu sama-sama Peraturan Daerah yang dalam tata urutan tersebut
ditentukan berada dalam tata urutan ketujuh. Dalam Pasal 4 ayat (1)
ditegaskan bahwa sesuai dengan tata urutan tersebut, maka setiap aturan
hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum
yang lebih tinggi, sesuai prinsip ‘
lex superiore derogat lex infiriore’.
Yang menjadi masalah adalah apa yang dirumuskan dalam ayat (2)-nya
yaitu: “Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa
Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, badan, lembaga, atau Komisi yang
setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah, tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan yang temuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan
ini”. Ketentuan ayat (2) ini menentukan peraturan dan keputusan yang
tidak boleh bertentangan itu adalah:
- Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung.
- Peraturan atau Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan.
- Peraturan atau Keputusan Menteri.
- Peraturan atau Keputusan (Gubernur?) Bank Indonesia.
- Peraturan atau Keputusan Badan, Lembaga ataupun Komisi yang setingkat dengan (Menteri?).
Beberapa persoalan yang timbul dengan adanya ketentuan demikian
adalah: Pertama, apakah peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh
lembaga tinggi negara seperti BPK dan MA dianggap sederajat dengan
Menteri, Bank Indonesia, dan bahkan dengan Badan, Lembaga dan Komisi?
Kedua, apakah Peraturan Mahkamah Agung dan Peraturan Badan Pemeriksa
Keuangan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah, tidak
boleh bertentangan dengan Keputusan Presiden, dan bahkan tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan Daerah Propinsi, Peraturan Daerah
Kabupaten, dan bahkan Peraturan Desa? Ketiga, lebih gawat lagi, apakah
Keputusan Mahkamah Agung dalam menyelesaikan sesuatu perkara kasasi
tidak boleh bertentangan semua ketentuan peraturan yang tingkatannya di
bawah Undang-Undang? Padahal, sesuai dengan asas kebebasan hakim, demi
keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, putusan hakim itu dapat
saja bertentangan dengan Undang-Undang. Keempat, apakah kedudukan Perda
lebih tinggi daripada Peraturan atau Keputusan Menteri, sehingga
pembuatan dan penetapan Perda di daerah-daerah tidak perlu mengacu
kepada pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
Tidak semua pertanyaan tersebut dapat dijawab tanpa memperbaiki lebih
dulu perumusan TAP MPR No.III/MPR/2000 itu sendiri, meskipun sebagian
dari kelemahan tersebut di atas, dapat diperbaiki dengan cara segera
menetapkan UU yang diperintahkan untuk ditetapkan dalam Pasal 6
Ketetapan MPR tersebut. Dalam Pasal 6 tersebut dikatakan: “Tata cara
pembuatan UU, PP, Perda dan pengujian peraturan perundang-undangan oleh
MA serta pengaturan ruang lingkup keputusan Presiden diatur lebih lanjut
dengan UU”. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah bahwa dalam rangka
melaksanakan agenda otonomi daerah yang tidak mungkin ditunda-tunda
lagi pelaksanaannya, daerah-daerah sudah sangat mendesak perlunya
menetapkan berbagai Peraturan Daerah, baik di propinsi maupun kabupaten
dan kota. Kesulitan-kesulitan teknis hukum tersebut dapat ditambah pula
dengan pertanyaan kelima, yaitu apakah Peraturan Daerah Propinsi
sederjat atau lebih tinggi daripada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pertanyaan ini timbul karena menurut ketentuan UU No.22/1999, hubungan
antara daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota berdasarkan UU tersebut
tidak lagi bersifat hirarkis, melainkan koordinatif dan horizontal.
Dalam Pasal 2 Ketetapan No.III/MPR/2000 tersebut, kedudukan Peraturan
Daerah disebut pada nomor urut ketujuh, dengan pengertian sebagaimana
diuraikan dalam Pasal 3 ayat (7) mencakup pengertian Perda Propinsi,
Perda Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa.
Karena itu, sebagai jalan keluarnya – terutama untuk membantu
pelaksanaan tugas pemerintahan dan tugas parlemen di daerah-daerah –
dapat diusulkan hal-hal berikut. Pertama, Pemerintah Daerah dan DPRD di
daerah-daerah sungguh-sungguh memperhatikan jiwa dari Ketetapan MPR
No.IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Penyelenggaraan Otonomi
Daerah yang dalam lampirannya merekomendasikan 7 kebijakan pokok. Yang
perlu diperhatikan di antaranya ialah rekomendasi nomor 2d yang
menegaskan: “Apabila keseluruhan peraturan pemerintah belum diterbitkan
sampai dengan akhir Desember 2000, daerah yang mempunyai kesanggupan
(penuh) untuk menyelenggarakan otonomi diberikan kesempatan untuk
menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur pelaksanaannya. Jika
peraturan pemerintah telah diterbitkan, peraturan daerah yang terkait
harus disesuaikan dengan peraturan pemerintah dimaksud.” Semangat yang
terkandung dalam rumusan rekomendasi ini di satu segi mendorong
tumbuhnya kemandirian dan keprakarsaan dari bawah, sehingga Pemerintah
Daerah ataupun DPRD tidak perlu menunggu arahan dan aturan dari atas.
Tetapi di pihak lain, semangatnya mengatur agar Peraturan Daerah tidak
bertentangan dengan peraturan pemerintah yang ditetapkan oleh pusat.
Kedua, dalam melaksanakan inisiatif dari bawah itu, Pemerintah Daerah
dan DPRD di tiap-tiap propinsi bersama-sama dengan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota beserta DPRD Kabupaten/Kota di propinsi masing-masing
dapat mengadakan kesepakatan bersama mengenai mekanisme penetapan
Peraturan Daerah masing-masing dengan mengacu kepada rencana induk
pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana direkomendasikan dalam
Rekomendasi TAP No.IV/MPR/2000 butir 3. Harus segera diadakan
kesepakatan untuk menghindari penafsiran-penafsiran yang berbeda-beda
antara satu daerah kabupaten/kota dan daerah kabupaten/kota lainnya di
propinsi yang bersangkutan. Langkah-langkah ini penting untuk
menghindari jangan sampai perbedaan antara satu sama lain terlalu tajam
sehingga dapat mengganggu upaya mencapai tujuan menyukseskan pelaksanaan
agenda otonomi daerah secara keseluruhan. Di pihak lain, pluralisme
hukum yang dapat timbul sebagai akibat penerapan kebijakan otonomi
daerah juga dapat diikuti tahap demi tahap, sehingga dapat dikelola
sebagaimana mestinya.
Ketiga, untuk menjamin sikap kehati-hatian tidak menghalangi
inisiatif yang tumbuh dari bawah, maka perlu dikembangkan pemahaman
bahwa: (a)
prinsip ‘lex superiore derogat lex infiriore’
mengharuskan norma hukum yang di bawah tidak bertentangan dengan norma
hukum yang di atas. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, prinsip tersebut
diimbangi oleh prinsip lain, yaitu
‘lex specialis derogat lex generalis’
bahwa norma hukum yang khusus, baik materinya maupun wilayah berlakunya
ataupun waktu berlakunya, dapat saja mengatur yang berbeda dari norma
hukum yang bersifat umum tanpa mengubah status keberlakuan norma hukum
yang bersifat umum tersebut. (b) dalam hukum dibedakan antara istilah
pertentangan norma (
contra legem) dengan ketidaksesuaian norma
(praepria).
Peraturan Daerah mutlak tidak boleh mengatur norma yang berlawanan atau
bertentangan dengan norma yang diatur dalam peraturan yang lebih
tinggi. Akan tetapi, jika materi yang diatur bukan berlawanan tetapi
hanya tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam peraturan yang lebih
tinggi, maka hal itu masih dapat diterima secara hukum. (c) dalam hal
ditemukan adanya perbedaan pengaturan antara satu peraturan dengan
peraturan yang lain, maka penafsirannya disarankan dikaitkan dengan
elemen teleologis dari materi peraturan itu, yaitu menyangkut tujuannya (
doelmatigheid).
Jika tujuannya sama, maka perbedaan dalam teknis pelaksanaannya,
sepanjang tidak mengganggu proses pencapaian tujuan langsungnya, maka
keduanya masih dapat diterima sebagai dokumen hukum menurut pengertian
ketidaksesuaian seperti pada butir (b) tersebut di atas. Dengan
demikian, inisiatif dari bawah tidak perlu terganggu, tetapi kita siap
untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan terjadinya kekisruhan dalam
pengaturan teknis hukumnya di lapangan.
Sebelum dibentuknya UU tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan
Perundang-Undangan yang diamanatkan berdasarkan ketentuan Pasal 6 TAP
No.III/MPR/2000 tersebut di atas, Peraturan Daerah dapat ditetapkan
mengacu kepada berbagai pedoman yang selama ini berlaku, dengan
penyesuaian dan inovasi sendiri berdasarkan kebutuhan di lapangan.
Misalnya, dalam konsideran Peraturan Daerah selalu dimuat adanya (a)
elemen pertimbangan (unsur ‘Menimbang’) yang bersifat substantif yang
menjadi latar belakang gagasan pembentukan Perda tersebut, (b) elemen
pengingatan (unsur ‘Mengingat’) yang dijadikan landasan hukum
pembentukan Perda tersebut, dan (c) elemen perhatian (unsur
‘Memperhatikan’) yang dijadikan rujukan operasional. Jika para perancang
ragu mengenai status hukum Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri
yang mengatur hal yang bersangkutan, maka Peraturan Menteri ataupun
Keputusan Menteri yang bersangkutan dapat dimuat dalam Konsideran
Memperhatikan, bukan Konsideran Mengingat. Dalam hal demikian, maka
norma aturan yang akan dimuat dalam diktum Perda dapat berbeda atau
tidak sesuai dengan materi yang diatur dalam Keputusan Menteri atau
Peraturan Menteri tersebut. Bahkan Keputusan Direktur Jenderal yang
status hukumnya juga tidak jelas juga dapat dijadikan rujukan peringatan
yang tidak mengikat dalam Perda yang bersangkutan..
PENUTUP
Demikianlah beberapa masukan pemikiran yang kiranya dapat
dipertimbangkan oleh para anggota DPRD dan pejabat Pemerintah Daerah
kita di seluruh Indonesia dalam upaya membuat dan menetapkan Peraturan
daerah yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan otonomi di daerahnya
masing-masing. Mudah-mudahan para pejabat kita di tingkat pusat dapat
bekerja keras untuk segera menetapkan berbagai peraturan pusat yang
sangat diperlukan sebagai pedoman bagi daerah-daerah di seluruh
Indonesia. Mudah-mudahan pula, berbagai peraturan yang akan ditetapkan
itu nantinya dapat sungguh-sungguh dijadikan acuan, tidak malah
menimbulkan masalah-masalah baru, karena kekurangcermatan dalam
perumusannya seperti yang telah terjadi dengan perumusan Ketetapan MPR
No. III/MPR/2000 tersebut di atas.
Namun, terlepas dari harapan-harapan positif tersebut di atas, semua
pihak hendaklah siap mengantisipasi berbagai kemungkinan buruknya teknik
perumusan peraturan-peraturan di tingkat pusat tersebut. Karena harus
dimaklumi juga bahwa persoalan yang harus diselesaikan demikian banyak
dan rumit, sehingga tetap saja ada kemungkinan terjadinya kekurangan
disana-sini. Yang penting adalah semangat kita semua harus ditujukan ke
arah perbaikan yang sungguh-sungguh dalam rangka pelaksanaan agenda
otonomi daerah yang justru sangat menentukan nasib bangsa dan negara
kita ke depan. Sukses tidaknya pelaksanaan agenda otonomi daerah ini
menyangkut taruhan yang sangat besar, yaitu keutuhan bangsa dan negara,
serta kembali pulihnya kehidupan nasional bangsa kita, baik di bidang
politik dan ekonomi yang menyangkut nasib 200-an juta rakyat Indonesia
yang sudah terlalu menderita akibat krisis yang tidak berkepanjangan.
KODIFIKASI HUKUM
Sejarah dan Pengertian
Kodifikasi hukum adalah pembukuan hukum dalam suatu himpunan
Undang-undang dalam materi yang sama. Tujuannya adalah agar didapat
suatu kesatuan hukum dan kepastian hukum. Yang dianggap sebagai suatu
kodifikasi nasional yang pertama adalah Code Civil Perancis atau Code
Civil Napoleon yang dibuat pada awal abad XVIII setelah berakhirnya
Revolusi Perancis.
Sebelum adanya kodifikasi tersebut, di Perancis tidak ada kesatuan
hukum dan kepastian hukum karena dipergunakannya hukum adat dan berlaku
untuk wilayahnya masing-masing, sehingga dalam penyelesaian masalah akan
berbeda-beda pula keputusan akhirnya.
Kodifikasi di Indonesia
Saat ini persoalan kodifikasi sudah tidak menjadi hal yang
diperdebatkan karena memang hukum nasional Indonesia telah
mengkodifikasi hukum yang berlaku, baik itu yang berasal dari warisan
Kolonial Belanda, maupun hukum Islam. Khusus untuk hukum Islam saat ini
kita telah memiliki Kompilasi Hukum Islam, yang dinilai oleh sebagian
pakar merupakan bentuk kodifikasi hukum Islam di Indonesia. Berdasarkan
hal tersebut seluruh persoalan yang hendak diselesaikan menggunakan
Hukum Islam dapat merujuk kepada Kompilasi tersebut.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly , Tata Urut Perundang-undangan dan Problema Peraturan Daerah .
Soeroso,R, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika
Hand Out Ilmu Hukum
Oleh : H.M. Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan VI
ALIRAN-ALIRAN HUKUM
Di dalam praktek, terdapat 3 aliran hukum, yaitu :
- Aliran Legisme
Aliran ini berpendapat bahwa satu-satunya hukum adalah UU, dan di
luar UU tidak ada hukum. Penganut aliran ini dipelopori oleh negara
Perancis yang menganggap bahwa Code Civil Perancis telah sempurna,
lengkap, serta dapat menampung seluruh masalah hukum. Aliran ini
dipraktekan dibeberapa negara lain seperti Belanda, Belgia, Jerman dan
Swiss.
- Aliran Freie Rechtslehre
Aliran ini bertolak belakang dengan aliran Legisme. Lahirnya aliran
ini pertama kali di Jerman pada tahun 1840 oleh Herman Kantorowisz.
Aliran ini muncul justru karena melihat kekurangan aliran Legisme yang
ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhan dan tidak dapat mengatasi
persoalan-persoalan baru. Aliran ini berpendapat bahwa hakim bebas
menentukan / menciptakan hukum, baik dengan melaksanakan UU atau tidak.
- Aliran Rechtvinding
Aliran ini atau dikenal dengan penemuan hukum, merupakan aliran
diantara 2 aliran hukum sebelumnya. Aliran ini tetap berpegang pada UU
tetapi tidak seketat aliran Legisme, karena hakim juga mempunyai
kebebasan. Namun kebebasan di sini adalah kebebasan yang terikat atau
terkontrol, karena hakim bertugas untuk menselaraskan UU dengan tuntutan
zaman dan bila perlu menambahkan dengan asas-asas yang dirasakan adil
oleh masyarakat setempat.
ALIRAN HUKUM DI INDONESIA
Negara Indonesia mempergunakan aliran Rechtsvinding. Ini berarti
bahwa hakim dalam memutuskan perkara berpegang pada UU dan hukum lain
yang berlaku di dalam masyarakat.
Menggagas Ilmu Hukum Indonesia
A Qodri Azizy
Guru Besar IAIN Walisongo Semarang
Pada tanggal 8 Desember 2004 telah diadakan seminar sehari mengenai Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) Indonesia
di Semarang. Penyelenggaranya Ikatan Alumni Program Doktor Ilmu
Hukum Universitas Diponegoro bekerjasama dengan IAIN Walisongo
Semarang. Pembicaranya ada empat orang, yakni Prof Dr Satjipto
Rahardjo, SH (Guru Besar Sosiologi Hukum, Undip), Prof Dr
Busthanul Arifin, SH (mantan Ketua Muda Mahkamah Agung/Guru Besar
Hukum, UIN Jakarta), Prof Dr Muladi, SH (Guru Besar Hukum, Undip), dan
Prof Dr A Qodri Azizy, MA (Guru Besar Ilmu Hukum Islam, IAIN
Walisongo).
Sesuai dengan judulnya, berarti ini masih merupakan barang
baru. Dikatakan baru karena belum banyak mendapatkan sorotan
yang signifikan. Sebab, ketika bangsa kita (para ahli, praktisi
luar pengadilan, pengamat, akademisi, mahasiswa, LSM, dan
lainnya) euforia memasuki gelanggang belantara yang namanya orde
reformasi, ilmu hukum belum banyak tersentuh. Ketika ada
pembicaraan mengenai hukum yang menjadi sorotan adalah praktik hukum,
dan lebih fokus lagi penegakan hukum. Tambahan lagi, hampir belum
pernah terdengar secara wajar pembahasan atau perdebatan
mengenai hukum kaitannya dengan agama dan budaya riil
masyarakat.
Ini berbeda sekali dengan disiplin lain, seperti sosilogi,
antropologi, bahkan juga ekonomi, terlebih lagi politik. Kajian
mengenai beberapa disiplin ini telah tereformasi secara
signifikan, meskipun belum menampakkan sosok ”identitas”-nya.
Akibatnya, hukum di Indonesia lebih sering menjadi victim
(korban) kritikan, bahkan juga hujatan oleh pelbagai pihak,
tanpa ada solusi yang ditawarkan untuk ke depan. Selama kenyataannya
seperti itu, belum bahkan juga mungkin tidak akan muncul solusi
peran hukum di Indonesia sesuai dengan yang kita harapkan.
Apabila kita bicara mengenai hukum, sudah pasti melibatkan
para pelaku hukumnya. Ketika para pelaku hukum menjalankan
tugasnya seperti apa yang terjadi selama ini jelaslah tidak
semata-mata kesalahan mereka. Bukankah mereka selalu mengatakan
”UU-nya kan memang berbunyi begitu”. Dengan demikian, bukankah
mereka mempunyai dasar dan landasan yang ”benar” menurut ilmu
hukum yang kita ikuti selama ini? Toh, pendidikan hukumnya
(termasuk kurikulum serta sistem dan metode pendidikan) belum pula
menjadi sasaran evaluasi serius agar produknya menjadi yang kita
harapkan.
Itulah, maka sudah seharusnya untuk menengok dan mengkaji
ulang ilmu hukumnya. Bukan hanya semata-mata praktik hukum yang
ada atau bukan pula hanya semata-mata menghujat pelaksana
hukumnya. Memang banyak faktor yang harus dikaji serius,
termasuk budaya hukum masyarakat, pendidikan hukum (meliputi
kurikulum, dan lain-lain), dan yang paling penting untuk segera
dilakukan adalah membangun Ilmu Hukum Indonesia.
Khas Indonesia
Mengapa judul seminar menyebutkan ”menggagas”? Menggagas berarti
sesuatu yang digagas belum terwujud. Dalam waktu bersamaan, berarti
telah tumbuh bahkan telah mempunyai kesadaran terhadap kenyataan
belum terwujud tadi. Lebih dari itu, menggagas juga berarti
adanya kondisi yang telah mempunyai kesadaran untuk
mewujudkannya.
Mengapa dikatakan belum terwujud? Secara singkat dapat
dikatakan bahwa ilmu hukum yang kita pelajari, kita yakini, dan
kita praktikkan pada hakikatnya adalah Ilmu Hukum Belanda. Buku
LJ van Apeldoorn yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum judul aslinya adalah Pengantar Ilmu Hukum Belanda. Salah satu ciri terpenting dalam sistem hukum Belanda adalah aliran legal positivism.
Menurut hemat saya ini adalah kekeliruan yang paling mendasar
dalam kehidupan hukum di Indonesia, terutama sekali ketika
pelaksana hukum kita memahaminya secara harfiyah.
Dalam kajian ilmu hukum, sistem hukum Belanda tergolong
pengikut mazhab Roman Law System (istilah Prof Rahardjo sistem
hukum Romawi-Jerman). Sistem ini dibentuk di benua Eropa yang
penggodokannya sejak abad ke-12 dan 13, yang mendasarkan pada
tersusunnya peraturan perundang-undangan. Menurut sistem ini, UU
menjadi sumber utama dan hakim tidak boleh membuat keputusan
yang berbeda dengan UU.
Di dalam pasal 20 AB disebutkan bahwa hakim harus mengadili
berdasarkan UU. Dalam pandangan aliran Legisme abad XIX, setelah
Napoleon mengundangkan Civil Code-nya, berkembanglah anggapan bahwa UU adalah hukum itu sendiri. Civil Code
bukan saja dianggap sempurna, namun juga sekaligus dianggap
menghasilkan kepastian dan kesatuan hukum. Ini kemudian
berkembang bahwa UU adalah esensi hukum itu sendiri, dimana hakim hanya
mempunyai peran menerapkan UU (meliputi peraturan perundangan)
dalam memberikan putusan hukum.
Bagaimana dengan sistem di Indonesia? Kalau Roman Law System
ini dipahami secara kaku, maka tidak ada kekeliruan hakim dalam
memberikan keputusan. Dalam waktu bersamaan, juga tidak ada tanggung
jawab yang dibebankan kepada hakim. Yang salah, keliru, tidak
tepat, tidak adil, atau negatif lainnya adalah bunyi harfiah UU
atau peraturan perundangan. legal maxim-nya, ”memang hukum (peraturan perundangan) berbunyi beigitu”.
Dengan demikian, terwujudnya proses dan praktik hukum di
Indonesia yang dianggap salah atau tidak/kurang memuaskan,
seperti yang selama ini dituduhkan, tidak bisa dibebankan kepada
hakim secara keseluruhan, selama ilmu hukumnya belum dibenahi.
Namun, saya yakin, paham hukum beberapa abad lalu di Belanda itu
sendiri telah mengalami perubahan, penyesuaian, dan perbaikan
sesuai dengan tuntutan jamannya.
Lebih dekat ke Common Law
Kita batasi perbandingan antara Roman Law System dan Common Law System
kaitannya dengan hukum Indonesia. Realitas masyarakat Indonesia
dan hukum kebiasaan yang ada bersama-sama dengan budaya dan
agama, menurut hemat saya Indonesia lebih dekat dengan sistem Common Law dari pada dengan Roman Law.
Common Law ini berasal dari Inggris sejak abad ke-11 sebagai
hukum kota. Mulai abad ke-16 jenis hukum ini menyebar ke luar,
termasuk ke Amerika Serikat. Sistem ini mendasarkan pada
ketentuan hukum yang lebih dulu (judicial precedent) yang asalnya dari hukum tidak tertulis, bukan pada UU. Dengan kata lain, Common Law
pada umumnya lebih berupa asas-asas (bukan peraturan tertulis)
yang umum dan komprehensif berdasarkan rasa keadilan,
pertimbangan akal dan pendapat umum yang dapat diterima.
Tambahan lagi, asas-asanya ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan
masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan perubahan kebutuhan
tersebut.
Kalau kita perhatikan, sistem ini lebih dekat dengan sistem hukum kebiasaan (customary law) di negara kita, yang kemudian dibaca dengan Hukum Adat (adatrecht).
Toh, para ahli sudah banyak yang setuju bahwa Hukum Adat harus
dipahami sebagai hukum yang hidup di masyarakat (living law)
dan kebiasaan. Jadi, bukan dogama hukum dengan judul ”hukum
adat”, yang berisi ketentuan tertulis. Sudah barang tentu, dalam
perkembangannya juga mengenal hukum tertulis atau UU. Namun,
esensi sistemnya masih tetap melekat pada peran hakim. Hakim
tidak dituntut untuk menerapakan teks UU secara harfiah. Namun,
lebih dituntut pada terwujudnya rasa keadilan, dimana UU
dijadikan sebagai alat untuk mencapai ke sana.
Sistem hukum kita
Banyak buku telah membahas beberapa aliran teori hukum, yang biasanya
selalu mencakup minimal tiga aliran: (i) aliran legisme atau legal positivism. Hakim berperan hanya melakukan pelaksanaan UU (Wetstoepassing);
(ii) aliran Freie Rechtsbewegung. Hakim bertugas untuk
menciptakan hukum (Rechtsschepping) dan sama sekali tidak
terikat UU. Ini kebalikan yang pertama; (iii) aliran
Rechtsvinding. Hakim mempunyai kebebasan yang terikat
(Gebonden-Vrijheid) atau keterikatan yang bebas
(Vrije-Gebondenheid).
Lalu yang mana yang diikuti oleh Indonesia? Selama ini
kita dianggap atau menganggapkan diri sebagai pengikut aliran
legal positivism atau legisme. Namun, menurut hemat saya
anggapan tersebut keliru. Aliran yang kedua juga sama sekali
tidak tepat bagi Indonesia. Lalu apakah yang ketiga, yakni
Rechtsvinding atau legal realism? Ini juga masih kurang, sehingga belum
mencerminkan keaslian Indonesia. Oleh karena itu, perlu tambahan
”plus”. Indonesia atau hukum nasional harus mempertegas dirinya
sebagai pengikut mazhab Rechtsvinding/Legal Realism-Plus.
Dengan demikian, secara nature-nya, di Indonesia yang sejak awal
sudah ada sistem hukum kebiasaan ditambah lagi tuntutan
keadilan, maka sistem inilah yang seharusnya dipertegas bagi
kita.
Di dalam UU Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(No 35 tahun 1999 perubahan dari UU No 14 tahun 1970) secara
jelas ditegaskan bahwa hakim-dan juga semua penegak hukum dan
keadilan ”wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat”. Ungkapan ini memberi peran luar
biasa bagi setiap hakim untuk ber-ijtihad (memutuskan hukum atas
dasar pemikiran yang mandiri dan bertanggung jawab dalam rangka
mewujudkan rasa keadilan dan kemaslahatan umum).
Untuk sampai ke tingkatan ini, dalam hal-hal tertentu
hakim harus lebih menggunakan pendekatan kontekstual, bukan
tekstual. Ini berarti hakim dituntut untuk bukan saja aktif dan
proaktif, namun juga sekaligus progresif. Dan sejak dua tahun
lalu, Prof Satjipto Rahardjo telah berbicara beberapa kali
tentang hukum progresif, dimana beliau mengidealkannya.
Mengapa ada plusnya? Saya katakan plus, oleh karena bukan
saja masyarakat kita adalah religius (sesuai dengan agama
masing-masing), namun juga sudah masuk dalam sistem hukum kita
bahwa setiap keputusan yang mempunyai nilai hukum (UUD, UU, dan
keputusan pengadilan) selalu diawali dengan ”Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dan dalam penjelasan UU
Kekuasaan Kehakiman dengan tegas urutan tanggung jawab hakim
yang pertama sekali adalah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ungkapan
ini pun perlu pembahasan dan kajian secara filosofis dan akademik,
sebagai salah satu wujud sosialisasi yang mendasar.
Dari uraian di atas, berarti jelaslah tidak cukup hanya
menghujat praktik hukum, namun harus memberi solusi sampai
dengan yang paling fundamental yaitu membangun Ilmu Hukum
Indonesia (Indonesian Jurisprudence). Hal ini otomatis harus
mengadakan evaluasi mendasar pula dalam kurikulum pendidikan
hukum, baik lewat formal maupun nonformal dengan bentuk
pelatihan hukum.
( ) |
|
|
|
|
|
|
|
Hand Out Ilmu Hukum
Oleh :H.M. Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan VII
TATA HUKUM DI INDONESIA
Tata hukum meliputi berbagai macam aspek sudut pandang terhadap hukum itu sendiri, yakni :
1. Hukum menurut bentuknya, yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
2. Hukum menurut waktu berlakunya, yaitu
ius constitutum (saat ini) dan
ius constituendum (akan datang).
3. Hukum menurut wilayah berlakunya, yaitu hukum local, nasional, dan internasional.
4. Hukum menurut cara mempertahankannya, yaitu materil dan formal.
5. Hukum menurut isinya, yaitu hukum public dan hukum privat atau sipil.
6. Hukum Islam
Bidang hukum
Hukum dapat dibagi dalam berbagai bidang, antara lain hukum perdata,
hukum publik, hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, hukum
internasional.
Hukum perdata
Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara
individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum
perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil.
Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:
- Hukum keluarga
- Hukum harta kekayaan
- Hukum benda
- Hukum Perikatan
- Hukum Waris
Hukum publik
Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara subjek hukum
dengan pemerintah. Hukum ini meliputi hukum pidana, hukum tatanegara,
dan hukum administrasi negara.
Hukum pidana
Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi barang siapa yang
melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam
undang-undang pidana. Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan
sebagainya Dalam hukum pidana dikenal, 2 jenis perbuatan yaitu
kejahatan dan pelanggaran, kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya
bertentangan dengan undang-undang tetapi juga bertentangan dengan nilai
moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat, contohnya mencuri,
membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya. sedangkan pelanggaran
ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh undang-undang, seperti tidak
pakai helem, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan
sebagainya.
Hukum tatanegara
HTN adalah hukum yang mempelajari negara tertentu, baik asal mula
berdirinya negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem
pemerintahan, sekaligus alat-alat perlengkapan negaranya.
Hukum Administrasi Negara
HAN adalah hukum yang mengatur cara kerja alat-alat perlengkapan negara serta hubungan antar alat perlengkapan negara.
Hukum acara
Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan hukum acara atau sering juga
disebut hukum formil. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur
bagaimana cara agar hukum (materiil) itu terwujud atau dapat
diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya . Tanpa
hukum acara maka tidak ada manfaat hukum materiil. Untuk menegakkan
ketentuan
hukum pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk
hukum perdata maka ada hukum acara perdata. Hukum acara ini harus dikuasai para praktisi hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim.
Hukum internasional
Hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antar negara satu dengan
negara lain secara internasional, yang mengandung dua pengertian dalam
arti sempit dan luas.
- Dalam arti sempit meliputi : Hukum publik internasional saja
- Dalam arti luas meliputi : Hukum publik internasional dan hukum perdata internasional
HUKUM ISLAM
Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling
mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam
Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar
yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan
sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia
itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan
kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air
–misalnya-, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak
komunitas muslim hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga
dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan –bagi umat Islam secara
khusus- untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam
mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses
sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang
sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan
politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh
Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting
di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses
Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai
seketika.
Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak
dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum
Islam di Tanah air, namun setidaknya apa akan Penulis paparkan di sini
dapat memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam, sejak awal
kedatangan agama ini ke bumi Indonesia hingga di era reformasi ini. Pada
bagian akhir tulisan ini, Penulis juga menyampaikan kesimpulan tentang
apa yang sebaiknya dilakukan oleh kaum muslimin Indonesia untuk –apa
yang Penulis sebut dengan- “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam.
Wallahu a’la wa a’lam!
Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli
sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad
ketujuh dan kedelapan masehi.[1] Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan
nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan
sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara
perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama
di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu
kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air
pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai.
Ia terletak di wilayah Aceh Utara.[2]
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah
nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul
berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri
Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram
dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan
Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut –sebagaimana tercatat dalam sejarah- itu
tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang
berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap
kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang
telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini
dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para
ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.[3] Dan kondisi terus
berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.
Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan
kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau
yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC
dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat
dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC
sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu
disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan
Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan
menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan.
Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang
asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk
menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.[4]
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
1.Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC,
dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama
Islam.
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di
tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi
ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab
Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini
memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat
kaidah-kaidah hukum pidana Islam.[5]
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga
menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan
Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai
gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang
kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak
Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah
ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama
antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang
mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya,
Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah
itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat
pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada
aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.[6]
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam
oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai
berikut:
1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan
Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata
kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum
Belanda.[7]
2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem,
Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama,
lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang
terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas
kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian
menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.[8]
3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje,
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi
untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa
kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat
setempat). [9]
4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2
Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78
Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan
diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh
hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.[10]
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang
berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun
1942.
Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada
panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942,
segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu
diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan
bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya
dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu
saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam
sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.[11]
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai
kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya
adalah:
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.[12]
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama
dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944
untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian
“dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya
hingga Indonesia merdeka.[13]
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum
Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun
juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi
adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur
masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,
Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam
tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di
masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan
kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang
datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia
yang dapat dimanfaatkan.[14]
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para
pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin
lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang –yang kemudian
membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang
mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi
dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini,
nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin
Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan
komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI
(Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis.
Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11
diantaranya yang mewakili kelompok Islam.[15] Atas dasar itulah, Ramly
Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas
dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta
berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai
golonga dalam masyarakat Indonesia”.[16]
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir
dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi
paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara
berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan
Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara
Islam.[17]
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang
mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat
Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu
akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus
1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi
semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan
golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat
informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore
hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima
–satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu-
menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang
menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu
dipertanyakan mengingat Latuharhary –bersama dengan Maramis, seorang
tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan
kompromi itu saat sidang BPUPKI.[18]
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan,
Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai
suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik
pengepungan kepada cita-cita umat Islam.[19]
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950
Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia
memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh
tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan
Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai
beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara
kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai
perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak
lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi
Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan
berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia –yang merupakan satu dari
16 bagian negara Republik Indonesia Serikat-. Konstitusi RIS sendiri
jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang
menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya,
samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan
UUD’45 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang
tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di
Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.[20]
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga
negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah
seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian
dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur
ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950,
semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS
dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah
membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih
ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950,
kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945,
bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara
terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing.
Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam
urusan-urusan keagamaan.[21] “Kelebihan” lain dari UUD Sementara 1950
ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud
peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal
102 UUD sementara 1950.[22] Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh
wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang
Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal
akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan
undang-undang Perkawinan Nasional.[23] Dan setelah itu, semua tokoh
politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi
undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana
mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat
tetap.[24]
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam
Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada
akhir tahun 1955. Majlis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian
dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan
bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui
Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting
terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah
konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni
menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi
tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum
Islam dalam UUD, bahkan –menurut Anwar Harjono- lebih dari sekedar
sebuah “dokumen historis”.[25] Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi?
Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini.
Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana
jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.
Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa
pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang
paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh
Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah
memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua
hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik
Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot
akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya negara-boneka
Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya
Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang
berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut
sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo
terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari
upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar –apa yang mereka
sebut dengan- “kesadaran teologis-politis”nya.[26]
Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah
eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini
perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu
partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus
dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan
tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat).
Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]-
bersama dengan PKI dan PNI[28] kemudian menyusun komposisi DPR Gotong
Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang
kemudian menghasilkan 2 ketetapan; salah satunya adalah tentang upaya
unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang
hidup di Indonesia.[29]
Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini
hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang
untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi
ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur.
Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat
yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak
pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya
politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan
politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru
membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh
Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai
pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan
bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai
Masyumi.[30] Lalu bagaimana dengan hukum Islam?
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional
tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk
mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H.
Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba
mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn
kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian
dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur
lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian
membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan
Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah
Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya –menurut Hazairin- hukum Islam
telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.[31]
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no.
14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan.[32] Hal ini kemudian
disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di
bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan
Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu,
dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.[33]
Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di
seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di
era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan
tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka
peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam.
Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan
daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di
Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya
suatu peraturan yang bersifat umum.[34]
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit
merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah
membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh
Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi
sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di
Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan
pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum
Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku
dalam hukum Nasional kita.[35]
Penutup
Era reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut diwarnai
oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam.
Bagi penulis, ide ini tentu patut didukung. Namun sembari memberikan
dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini dijalankan secara
cerdas dan bijaksana. Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan
menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa
perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan
berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran
dalam menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan
itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru
tidak sejalan dengan kema’rufan Islam.[36]
Proses “pengakraban” bangsa ini dengan hukum Islam yang selama ini
telah dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan
kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap
kekuatan dan daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri,
dalam sistem demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan
sukses-tidaknya suatu tujuan dan cita-cita.
Wallahu a’lam.
Cipinang Muara, 19 September 2006
(Sumber : abulmiqdad.multiply.com)
*)Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Indonesia Program Studi kajian Islam Dan Timur Tengah Kekhususan Kajian Islam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi
Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi
Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005.
2. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik
Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998.
3. Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Seminar
Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem
Nasional, Jakarta, 27 September 2000.
4. Chamzawi, Memperjuangkan Berlakunya Syari’ah Islam di Indonesia
(Masih Perlukah?), Majalah Amanah, no.56, tahun XVIII, Nopember
2004/Ramadhan-Syawal 1425 H.
[1] Sebagaimana disebutkan dalam Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum
Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam
Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas
Indonesia, Jakarta, Mei 2005, hal. 61. Sementara itu Bahtiar Effendy
menyebutkan bahwa Islam mulai diperkenalkan di wilayah nusantara pada
akhir abad 13 dan awal abad 14 Masehi. Kesimpulan ini sangat mungkin
didasarkan pada fakta bahwa kesultanan Islam pertama, Samudra Pasai,
berdiri pada kisaran waktu tersebut. Lih. Bahtiar Effendy, Islam dan
Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,
Paramadina, Jakarta, Oktober 1998, hal. 21.
[2] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 61.
[3] Ibid., hal. 61-62.
[4] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 63-64.
[5] Ibid., hal. 64-66.
[6] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 67-68.
[7] Ibid., hal. 68.
[8] Ibid., hal. 68-70.
[9] Ibid., hal. 70.
[10] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi
Indonesia, op.cit., hal. 72. Sebagaimana terlihat dengan jelas bahwa
perubahan ini juga sangat dipengaruhi oleh Teori Receptio Snouck
Hurgronje.
[11] Ibid., hal. 76.
[12] Mengenai apakah Masyumi versi ini merupakan asal-usul Partai
Masyumi di kemudian hari, lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara,
op.cit., hal. 93, catatan kaki no.105.
[13] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 76-79.
[14] Daniel S.Lev, Islamic Courts in Indonesia, hal. 34, sebagaimana
dinukil dari Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 83.
[15] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 84. Mereka antara
lain adalah Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim,
Abikusno Tjokrosujoso, dan K.H.A.Wahid Hasjim. Jumlah ini didasarkan
pada apa yang dituliskan oleh Muhammad Yamin dalam Naskah Persiapan
Undang-Undang Dasar 1945, jilid I dan II, Jakarta: Yayasan Prapanca,
1959, hal. 60. Sementara dalam Ramly Hutabarat menyebutkan dalam
Kedudukan Hukum Islam, hal. 85, disebutkan jumlah kubu Islam adalah 15
orang. Data ini didasarkan pada pidato Abdul Kahar Muzakkir di
Konstituante, dalam Tentang Dasar Negara di Konstituante, jilid III.
Bandung: Secretariat Jenderal Konstituante, 1959, hal. 35.
[16] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 85.
[17] Ibid., hal. 89-90. Titik kompromi lain juga terlihat dalam rumusan
tentang syarat menjadi Presiden Republik Indonesia yang haruslah “orang
Indonesia asli dan beragama Islam.”
[18] Ibid., hal. 92-93.
[19] Risalah Perundingan 1957, tanpa tempat, Konstituante Republik
Indonesia, tanpa tahun, hal. 325, sebagaimana dinukil dari Bahtiar
Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 91.
[20] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 103.
[21] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 110-111.
[22] Ibid., hal. 112.
[23] Ibid., hal. 113.
[24] Ibid., hal. 115.
[25] Ibid., hal. 131-133.
[26] Karl. D. Jackson, Traditional Authority, Islam, and Rebellion, hal.
10, sebagaimana dikutip dari Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal.
96-97.
[27] Ini adalah manifesto politik yang terdiri dari (1) kembali ke UUD
1945; (2) sosialisme Indonesia: (3) demokrasi terpimpin: (4) ekonomi
terpimpin; dan (5) kepribadian Indonesia. Lih. Bahtiar Effendy, Islam
dan Negara, op.cit., hal. 110.
[28] Masing-masing diwakili oleh Idham Chalid (NU), D.N. Aidit (PKI), dan Suwirjo (PNI).
[29] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 140-141.
[30] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 111-112.
[31] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 149-150, dan 153.
[32] Lihat beberapa alasan diterimanya UU ini dalam Ramli Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit, hal. 163-164.
[33] Ibid., hal. 156-157. Kompilasi ini terdiri dari tiga buku: (1)
tentang Hukum Perkawinan, (2) tentang Hukum Kewarisan; dan (3) tentang
Hukum Perwakafan.
[34] Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional,
makalah Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam
Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, 27 September 2000.
[35] Ibid.
[36] Lih. Chamzawi, Memperjuangkan Berlakunya Syari’ah Islam di
Indonesia (Masih Perlukah?), Majalah Amanah, no.56, tahun XVIII,
Nopember 2004/Ramadhan-Syawal 1425 H.
UNIVERSITAS ISLAM “45” BEKASI
FAKULTAS AGAMA ISLAM
SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL
TAHUN AKADEMIK 2008 / 2009
Mata Kuliah : Ilmu Hukum
Dosen : H.Muhammad Aiz ,SH,MH
Semester : I (Satu)
Program Studi : Syariah
Hari/Tanggal : Kamis, 27 November 2008
Waktu : 8.00
Sifat Ujian : Close Book
- Berikan definisi tentang ilmu hukum yang kamu ketahui, minimal menurut 2 orang pakar / ahli !
- Jelaskan mengenai subyek hukum dan obyek hukum !
- Jelaskan tentang aliran hukum yang berkembang luas saat ini di Indonesia?
- Apakah yang kamu ketahui tentang Ketetapan MPR-RI Nomor III Tahun 2000 ?
- Sebutkan sumber hukum menurut hukum positif di Indonesia dan menurut syari’at Islam !
Hand Out Ilmu Hukum
Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan IX
Teori-Teori Hukum
Pendahuluan
Untuk dapat memahami hukum secara utuh dan komprehensif tidak hanya
dibutuhkan pemahaman terhadap makna dan penjabaran arti kata hukum
semata, namun dituntut lebih luas lagi, yakni mengetahui berbagai teori
hukum yang tertuang dalam ranah filsafat. Berdasarkan hal tersebut
dibawah ini akan diuraikan beberapa teori hukum.
- Hukum Alam
Huijbers (1995:82) membedakan penggunaan istilah hukum alam dengan
hukum kodrat. Hal ini didasarkan atas perbedaan penggunaan istilah yang
bermuara pada perbedaan arti. Huijbers lebih condrong menggunakan
istilah latin
lex naturalis yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan
natural law atau hukum kodrat dibanding dengan istilah latin
lex naturae yang diartikan dengan
law of nature atau hukum alam.
Pemikiran mengenai hukum alam dapat ditelusuri dengan pengenalan
hukum alam dalam pandangan mithologis, theologies maupun perkembangan
selanjutnya dalam pandangan rasional. Aliran hukum alam telah berkembang
sejak kurun waktu 2500 tahun yang lalu dan muncul sebagai bentuk
pemikiran. Sejarah hukum alam dimulai ketika bangsa Yunani mengenal
suatu hukum ketuhanan yang berada di atas lembaga-lembaga manusia. Di
atas dunia manusia bertahta dewa-dewi. Akal manusia memungkinkan untuk
mengenal dewa dewi. Dewa-dewi sendiri harus tunduk pada undang-undang
abadi yang disebut “moira”.
Dasar gagasan hukum alam ada pada asumsi bahwa melalui penalaran,
hakikat mahluk hidup akan dapat diketahui, dan pengetahuan itu mungkin
menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia.
Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh
manusia. Menurut Friedmann sejarah tentang hukum alam merupakan sejarah
umat manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang dinamakan keadilan
yang mutlak
(absolute justice). Selain itu ditinjau dari
sumbernya, hukum alam dibedakan menjadi 2 yaitu : Hukum alam yang
bersumber dari Tuhan (Irasional), dan Hukum alam yang bersumber dari
akal manusia (Rasional). Pendukung aliran hukum alam irasional aialah
Thomas Aquinas, John Salisbury, Dante, Piere Dubois, Marsilius Padua dan
John Wycliffe. Adapun pendukung rasional ialah Hugo de Groot, Immanuel
Kant, Christian Thomasius dan Samuel von Pufendorf.
- Positivisme
Teori ini dikembangkan August Comte, seorang sarjana Perancis
(1798-1857). Menurut para pendukung teori ini atau dikenal dengan
positivis bahwa hukum positiflah yang berlaku; dan hukum positif di sini
adalah norma-norma yudisial yang dibangun oleh otoritas negara. Ia juga
menekankan pemisahan ketat hukum positif dari etika dan kebijaksanaan
sosial dan cenderung mengidentifikasikan keadilan dengan legalitas,
yaitu ketaatan kepada aturan-aturan yang ditentukan oleh negara.
Positivisme hukum ada 2 bentuk, yaitu positivisme yuridis dan
positivisme sosiologis.
Selain itu, dalam teori ini dikenal pula pembagian yang lain, yaitu positivisme analitik dan positivisme pragmatik.
Positivisme analitik dipelopori oleh John Austin (1790-1859) seorang
yuris Inggris yang mendefinisikan hukum sebagai suatu aturan yang
ditemukan untuk membimbing mahluk berakal oleh mahluk berakal yang telah
memiliki kekuatan mengalahkannya. Sehingga karenanya hukum yang
dipisahkan dari keadilan dan sebagai gantinya didasarkan pad aide-ide
baik dan buruk dilandaskan pada kekuasaan yang tertinggi.(Freidmann,
1990:258). Menurut Austin, hukum dibedakan menjadi 2, yaitu hukum Allah
yang merupakan suatu moral hidup daripada hukum dalam arti sejati, dan
hukum manusia yakni segala peraturan yang dibuat oleh manusia sendiri.
Adapun positivisme pragmatik melihat hukum sebagai sesuatu yang harus
ditentukan oleh fakta-fakta sosial yang berarti sebuah konsepsi hukum
dalam perubahan terus menerus dan konsep masyarakat yang berubah lebih
cepat dibandingkan dengan hukum.
- Teori Hukum Murni (Pure Theory of Law)
Pembahasan utama Hans Kelsen, sebagai pelopor teori ini adalah untuk
membebaskan ilmu hukum dari unsur-unsur ideologis. Menurut Kelsen teori
hukum murni berusaha untuk menjawab pertanyaan “apa hukum itu?” tetapi
bukan pertanyaan “apa hukum itu seharusnya?”. Teori ini
mengkonsentrasikan diri pada hukum semata-mata dan berusaha melepaskan
ilmu pengetahuan hukum dari campur tangan ilmu pengetahuan asing seperti
psikologi dan etika.
- Hukum berlandaskan wahyu
Menurut As Syatibi, Islam telah mensyariatkan berbagai hukum yang
menjamin terwujudnya hal-hal dharuri (primer) yang meliputi agama, jiwa
(al-muhafadzah ‘ala an-nafs), akal (
al-muhafadzah ‘ala al ‘aql), kehormatan
(al-muhafadzah ‘ala an-nasl), dan harta kekayaan (
al-muhafadzah ‘ala al-mal); serta menjamin pemeliharaan terhadap kelima hal tersebut.
Hand Out Ilmu Hukum
Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan X
Bidang Studi Hukum (Lanjutan)
A. Sejarah Hukum
Sumbangan Von Savigny sebagai “Bapak
Sejarah Hukum” telah menghasilkan aliran historis (
sejarah). Cabang ilmu ini lebih muda usianya dibandingkan dengan sosiologi
hukum. Berkaitan dengan masalah ini Soedjono, D., menjelaskan bahwa : “
Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi
hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem
hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara
hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan
waktu. (Sudarsono, hal. 261). Demikian juga hal yang senada diungkapkan
oleh Menteri Kehakiman dalam pidato sambutan dan pengarahan pada
simposium
Sejarah Hukum (Jakarta 1-3 April 1975) dimana dinyatakan bahwa :
“Perbincangan
sejarah hukum mempunyai arti penting dalam rangka pembinaan
hukum nasional, oleh karena usaha pembinaan
hukum tidak saja memerlukan bahan-bahan tentang perkembangan
hukum masa kini saja, akan tetapi juga bahan-bahan mengenai perkembangan dari masa lampau. Melalui
sejarah hukum kita akan mampu menjajaki berbagai aspek
hukum
Indonesia pada masa yang lalu, hal mana akan dapat memberikan bantuan
kepada kita untuk memahami kaidah-kaidah serta institusi-institusi
hukum yang ada dewasa ini dalam masyarakat bangsa kita” (Soerjono Soekanto hal, 9).
Apa yang sejak lama disebut
sejarah hukum,
sebenarnya tak lain dari pada pertelaahan sejumlah peristiwa-peristiwa
yuridis dari zaman dahulu yang disusun secara kronologis, jadi adalah
kronik
hukum. Dahulu
sejarah hukum yang demikian itupun disebut “antiquiteiter”, suatu nama yang cocok benar.
Sejarah adalah suatu proses, jadi bukan sesuatu yang berhenti, melainkan sesuatu yang bergerak; bukan mati, melainkan hidup.
Hukum sebagai gejala
sejarah berarti tunduk pada pertumbuhan yang terus menerus. Pengertian tumbuh membuat dua arti yaitu perobahan dan stabilitas.
Hukum tumbuh, berarti bahwa ada terdapat hubungan yang erat, sambung-menyambung atau hubungan yang tak terputus-putus antara
hukum pada masa kini dan
hukum pada masa lampau.
Hukum pada masa kini dan
hukum pada masa lampau merupakan satu kesatuan. Itu berarti, bahwa kita dapat mengerti
hukum kita pada masa kini, hanya dengan penyelidikan
sejarah, bahwa mempelajari
hukum secara ilmu pengetahuan harus bersifat juga mempelajari
sejarah. (Van Apeldroon, hal. 417). Misalnya saja penelitian yang dilakukan oleh Mohd. Koesno tentang
hukum
adat setelah Perang Dunia II melalui beberapa pentahapan (periodisasi).
Secara kronologi perkembangan tersebut dibaginya dalam beberapa tahap,
yaitu :
1. Masa 1945-1950
2. Masa Undang-undang Dasar Sementara 1950
3. Masa 1959-1966
4. Masa 1966 – sekarang
Penetapan tersebut disertai analisis yang mendalam tentang kedudukan dan peranan
hukum adat pada masa-masa tersebut. Mempelajari
sejarah hukum memang bermanfaat, demikian yang dikatakan Macauly bahwa dengan mempelajari
sejarah,
sama faedahnya dengan membuat perjalanan ke negeri-negeri yang jauh :
ia meluaskan penglihatan, memperbesar pandangan hidup kita. Juga dengan
membuat perjalanan di negeri-negeri asing,
sejarah
mengenalkan kita dengan keadaan-keadaan yang sangat berlainan dari pada
yang biasa kita kenal dan dengan demikian melihat, bahwa apa yang kini
terdapat pada kita bukanlah satu satunya yang mungkin. (Sudarsono, hal.
254). Sebagai contoh adalah “ Misi Rahasia Tsar Peter”. Banyak sedikit,
kita manusia semuanya condong menerima yang ada sebagai yang sewajarnya,
juga dengan tiada kita sadari kita semua dikuasai oleh waktu yang lalu.
Karena dilahirkan dalam sesuatu waktu, dalam sesuatu negara dan dalam
sesuatu lingkungan, sedari kecil kita sama sekali biasa pada pelbagai
pandangan dan pada pelbagai keadaan, sehingga biasanya timbul pada kita
pertanyaan, apakah hal-hal tersebut ada sebagai mana mestinya? (Van
Apeldroon, hal. 420). Penyelidikan
sejarah membebaskan
kita dari prasangka-prasangka, ia menyebabkan bahwa kita tidak begitu
saja menerima yang ada sebagai hal yang demikian melainkan menghadapinya
secara kritis. Makin sedikit kita mengenal waktu yang lalu, makin besar
bahayanya kita dikuasainya. (Van Apeldroon, hal. 421). Sebagai contoh :
“Tinjauan ulang
sejarah serangan umum 1 Maret dan G. 30 S. PKI (Waspada, 3 Oktober 2000).
Penelitian
sejarah pada umumnya dilakukan terhadap
bahan-bahan tertulis maupun tidak tertulis yang biasanya dibedakan
antara bahan-bahan primer, sekunder dan tersier.
Bahan-bahan primer, antara lain :
1. Dokumen, yaitu arsip, surat-surat, memoranda, pidato, laporan, pernyataan dari lembaga-lembaga resmi.
2. Bahan tertulis lain seperti catatan harian, laporan-laporan hasil wawancara yang dilakukan dan dibuat oleh wartawan.
3. Gambar-gambar atau potret
4. Rekaman.
Data suplementer pada bahan-bahan primer adalah antara lain : Oral
Story dan Folk Story (khususnya yang tidak tertulis), kemudian
benda-benda hasil penemuan arkeologis, bekas kota dan lain sebagainya.
Kemudian bahan-bahan sekunder :
1. Monograp
2. Bahan tertulis yang berupa bahan referensi
3. Ilmu-ilmu pembantu terhadap
sejarah, misal :
epigrafi, yaitu seloka atau sajak yang barisnya tidak banyak dan
mengandung sindiran serta numismatis yaitu ilmu tentang maka uang.
Bahan-bahan tersebut dapat dimanfaatkan melalui beberapa tahap sebelum benar-benar menjadi sumber data
sejarah.
Penggolongan bukti-bukti tersebut tidak mutlak, bukti-bukti tersebut
harus dilihat dengan kritis. Peneliti harus bertanya apakah bukti
tersebut asli dan isinya dapat dipercayai, karena metode
sejarah menggunakan akal yang teratur dan sistematis. Sebagai ilmu sosial dan ilmu budaya,
sejarah
menelaah aktivitas manusia dan peristiwa-peristiwanya yang terjadi pada
masa lalu dalam keitannya dengan masa kini. Sebagai ahli
sejarah, tidak harus puas dengan deskripsi saja dan harus berusaha untuk memakainya serta bagaimana prosesnya yang pusat perhatiannya
adalah uniknya dan khasnya peristiwa-peristiwa tersebut. Pada
sejarah hukum umum yang menjadi ruang lingkupnya adalah perkembangan secara menyeluruh dari suatu
hukum positif tertentu. Objek khususnya adalah
sejarah pembentukan
hukum atau pengaruh dari sumber-sumber
hukum
dalam arti formil pada peraturan-peraturan tertentu. Paradigma yang
digunakan sebagai kerangka dasar penelitian adalah sumber-sumber
hukum dalam arti formil yang mencakup :
1. Perundang-undangan.
2.
Hukum kebiasaan.
3. Yurisprudensi.
4. Traktat.
5. Doktrin.
Masing-masing sumber tersebut ditelaah perkembangannya serta pengaruhnya terhadap pembentukan
hukum (rechtvorming). Penelitian dapat dilakukan secara menyeluruh dan juga dapat dibatasi pada suatu sumber tertentu.
Kesimpulan :
Dari uraian diatas maka dapat penulis simpulkan bahwa salah satu kegunaan
sejarah hukum adalah untuk mengungkapkan fakta-fakta
hukum
tentang masa lampau dalam kaitannya dengan masa kini. Hal di atas
merupakan suatu proses, suatu kesatuan, dan satu kenyataan yang
diahadapi, yang terpenting bagi ahli
sejarah data dan
bukti tersebut adalah harus tepat, cenderung mengikuti pentahapan yang
sistematis, logika, jujur, kesadaran pada diri sendiri dan imajinasi
yang kuat.
Sejarah hukum dapat memberikan pandangan yang luas bagi kalangan
hukum, karena
hukum tidak mungkin berdiri sendiri, senantiasa dipengaruhi oleh berbagai aspek kehidupan lain dan juga mempengaruhinya.
Hukum masa kini merupakan hasil perkembangan dari
hukum masa lampau, dan
hukum masa kini merupakan dasar bagi
hukum masa mendatang.
Sejarah hukum akan dapat melengkapi pengetahuan kalangan
hukum mengenai hal-hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dr. Soerjono Soekanto, SH.MA, 1986,
Pengantar Sejarah Hukum, Bandung,
Alumni.
2. Prof. Dr. Mr. L. J. Van Apeldroon, 2001,
Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT.
Pradnya Paramita.
3. Drs. Sudarsono, SH.M.Si, 2001,
Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Rineka
Cipta.
4. Prof. Warsani, SH, 2001,
Bahan Kuliah.
B. Politik Hukum
HUKUM DAN POLITIK
Oleh: Oka Mahendra
Hukum dan politik merupakan subsistem dalam sistem
kemasyarakatan. Masing-masing melaksanakan fungsi tertentu untuk
menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Secara garis
besar hukum berfungsi melakukan social control, dispute settlement dan
social engeneering atau inovation.sedangkan fungsi politik meliputi
pemeliharaan sistem dan adaptasi (socialization dan recruitment),
konversi (rule making, rule aplication, rule adjudication,
interestarticulation dan aggregation) dan fungsi kapabilitas (regulatif
extractif, distributif dan responsif).
Virgina Held (etika Moral, 1989 106-123) secara panjang lebar
membicarakan sistem hukum dan sistem politik dilihat dari sudut pandang
etika dan moral. Ia melihat perbedaan diantara keduanya dari dasar
pembenarannya. “Dasar pembenaran deontologis pada khususnya merupakan
ciri dan layak bagi sistem hukum, sedangkan dasar pembenaran teleogis
pada khususnya ciri dan layak bagi sistem politik. Argumentasi
deontologis menilai suatu tindakan atas sifat hakekat dari tindakan yang
bersangkutan, sedangkan argumentasi teleogis menilai suatu tindakan
atas dasar konsekuensi tindakan tersebut. Apakah mendatangkan
kebahagiaan atau menimbulkan penderitaan. Benar salahnya tindakan
ditentukan oleh konseku ensi yang ditimbulkannya, tanpa memandang sifat
hakekat yang semestinya ada pada tindakan itu.
Sistem hukum, kata Held lebih lanjut memikul tanggung jawab utama
untuk menjamin dihormatinya hak dan dipenuhinya kewajiban yang timbul
karena hak yang bersangkutan. Dan sasaran utama sistem politik ialah
memuaskan kepentingan kolektif dan perorangan. Meskipun sistem hukum dan
sistem politik dapat dibedakan, namun dalan bebagai hal sering
bertumpang tindih. Dalam proses pembentukan Undang-undang oleh badan
pembentuk Undang-undang misalnya. Proses tersebut dapat dimasukkan ke
dalam sistem hukum dan juga ke dalam sistem politik, karena
Undang-undang sebagai output merupakan formulasi yuridis dari
kebijaksanaan politik dan proses pembentukannya sendiri digerakkan oleh
proses politik.
Hukum dan politik sebagai subsistem kemasyarakatan adalah bersifat
terbuka, karena itu keduanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi ole
subsistem lainnya maupun oleh sistem kemasyarakatan secara keseluruhan.
Walaupun hukum dan politik mempunyai fungsi dan dasar pembenaran yang
berbeda, namun keduanya tidak saling bertentangan. Tetapi saling
melengkapi. Masing-masing memberikan kontribusi sesuai dengan fungsinya
untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Dalam
masyarakat yang terbuka dan relatif stabil sistem hukum dan politiknya
selalu dijaga keseimbangannya, di samping sistem-sitem lainnya yang ada
dalam suatu masyarakat.
Hukum memberikan kompetensi untuk para pemegang kekuasaan politik
berupa jabatan-jabatan dan wewenang sah untuk melakukan
tindakan-tindakan politik bilamana perlu dengan menggunakan sarana
pemaksa. Hukum merupakan pedoman yang mapan bagi kekuasan politik untuk
mengambil keputusan dan tindakan-tindakan sebagai kerangka untuk
rekayasa sosial secar tertib. Prof. Max Radin menyatakan bahwa hukum
adalah teknik untuk mengemudikan suatu mekanisme sosial yang ruwet.
Dilain pihak hukumtidak efektif kecuali bila mendapatkan pengakuan dan
diberi sanksi oleh kekuasaan politik. Karena itu Maurice Duverger
(Sosiologi Politik 1981:358) menyatakan: “hukum didefini- sikan oleh
kekuasaan; dia terdiri dari tubuh undang-undang dan prosedur yang dibuat
atau diakui oleh kekuasaan politik.
Hukum memberikan dasar legalitas bagi kekuasaan politik dan kekuasaan
politik membuat hukum menjadi efektif. Atau dengan kata lain dapat
dikemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan yang diam dan politik adalah
hukum yang in action dan kehadirannya dirasakan lebih nyata serta
berpengaruh dalam kehidupan kemasyarakatan.
Hukum dan politik mempunyai kedudukan yang sejajar. Hukum tidak dapat
ditafsirkan sebagai bagian dari sistem politik. Demikian juga
sebaliknya. Realitas hubungan hukum dan politik tidak sepenuhnya
ditentukan oleh prinsp-prinsip yang diatur dalam suatu sistem
konstitusi, tetapi lebih dtentukan oleh komitmen rakyat dan elit politik
untuk bersungguh-sungguh melaksanakan konstitusi tersebut sesuai dengan
semangat dan jiwanya. Sebab suatu sistem konstitusi hanya mengasumsikan
ditegakkannya prinsi-prinsip tertentu, tetapi tidak bisa secara
otomatis mewujudkan prinsi-prinsip tersebut. Prinsip-prinsip obyektif
dari sistem hukum (konstitusi) sering dicemari oleh
kepentingan-kepentingan subyektif penguasa politik untuk memperkokoh
posisi politiknya, sehingga prinsip-prinsip konstitusi jarang terwujud
menjadi apa yang seharusnya, bahkan sering dimanipulasi atau
diselewengkan.
Penyelewengan prinsi-prinsip hukum terjadi karena politik cenderung
mengkonsentrasikan kekuasaan ditangannya dengan memonopoli alat-alat
kekuasaan demi tercapainya kepentingan-kepentingan politik tertentu. Di
samping itu seperti dicatat oleh Virginia Held (Etika Moral 1989; 144)
keputusan-keputusan politik dapat bersifat sepenuhnya ekstra legal,
selama orang-orang yang dipengaruhinya menerima sebagai berwenang. Jika
keputusan seorang pemimpin, betapapun sewenang wenang ataupun tidak
berhubungan dengan peraturan-peraturan tertentu, diterima oleh para
pengikutnya, maka keputusan itu mempunyai kekuatan politik yang sah.
Dengan memonopoli penggunaan alat-alat kekuasaan dan mengkondisikan
penerimaan oleh masyarakat, maka politik mampu menciptakan kekuasaan
efektif tanpa memerlukan legalitas hukum.
Hukum tidak ditempatkan pada posisi sentral protes input output
sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Dalam perjalanan sejarah
bangsa Indonesia, kita mengalami hubungan hukum dengan politik yang
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Pembukaan UUD 1945 dengan jelas mengamanatkan susunan negara RI yang
berkedaulatan rakyat . Dan penjelasan umum UUD 1945 mengenai sistem
Pemerintahan Negara dengan gamblang menentukan antara lain bahwa Negara
Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (machtsstaat) serta pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi
(hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak
terbatas).
Di masa Orde Lama prinsip-prinsip tersebut diselewengkan. Kedaulatan
tidak berada di tangan rakyat, tetapi berpindah ke tangan “Pemimpin
Besar Revolusi”. Hukum disubordinasikan pada politik Pemerintah berdasar
atas sistem konstitusi dalam praktek menjadi pemerintahan berdasar
Penetapan Presiden (Penpres) dan Peraturan Presiden (perpres). Hubungan
hukum dan politik pada Orde Lama berjalan tidak seimbang. Hukum
kehilangan wibawanya dan melorot peranannya menjadi pelayan kepentingan
politik, karena waktu itu politik dinobatkan menjadi panglima. Orde Baru
yang bangkit pada awal tahun 1966 melakukan koreksi terhadap berbagai
penyelewengan yang terjadi pada masa Orde Lama dan bertekad
mengembalikan tatanan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan pada
kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.
Hasil-hasil selama ini tampak nyata khususnya dalam penataan kembali
kehidupan hukum dan politik sebagai pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Namun perlu dicatat pula bahwa dalam
perjalanan waktu tampaknya godaan pragmatisme pembangunan sulit
dikendalikan, di mana pencapaian sasaran-sasaran kuantitatif yang
terukur dengan angka-angka statistik menjadi ukuran keberhasilan.
Artinya dasar pembenaran teleogis dari politik yang mengedepan, tidak
diimbangi oleh pembenaran deontologis dari sistem hukum yang menekankan
pada prinsip-prinsip yang seharusnya ditegakkan berdasarkan konstitusi
dan hukum.
Di samping itu kekuasaan tak jarang menampakkan wajahnya yang arogan
dan tak terjangkau oleh kontrol hukum maupun rakyat melalui lembaga
perwakilan. Padahal salah satu esensi dari negara yang berdasar atas
hukum adalah bahwa kekuasaanpun mesti tunduk dan bertanggung jawab untuk
mematuhi hukum. Kekuasaan politik yang dijalankan dengan menghormati
hukum, merupakan yang dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat yang
berdaulat. Carol C Gould (Demokrasi ditinjau Kembali 1993: 244)
menyatakan: “mematuhi hukum sebagai bagian dari kewajiban politik”.
Aturan hukum dan juga kehidupan sosial yang berperaturan berfungsi
sebagai salah satu kondisi bagi kepelakuan. Hukum mencegah gangguan dan
sekaligus menjaga stabilitas dan koordinasi kegiatan masyarakat. Dengan
demikian memungkinkan tindakan orang lain dan membuat rencana masa
depan.
Gejala mengutamakan pencapaian target dengan kurang mengindahkan
prinsip-prinsip yang mesti ditegakkan dan arogansi kekuasaan apabila
tidak segera diatasi merupakan kendala dalam merealisasikan komitmen
Orde Baru untuk menegakkan konstitusi, demokrasi dan hukum. Untuk
menegakkan konstitusi, demokrasi dan hukum tak cukup hanya dengan
kemauan politik yang selalu dijadikan retorika, yang lebih penting
adalah melakukan upaya nyata melaksanakan konstitusi, mengembangkan
demokrasi dan membangun wibawa hukum dalam praktek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hal itu akan menjadi realitas apabila sistem hukum dan politik
berfungsi dengan baik menurut kewenangan-kewenangan sah yang diatur
dalam konstitusi. Sistem check and balance akan terlaksana bila
kekuasaan politik menghormati hukum dan dikontrol oleh rakyat secara
efektif melalui lembaga perwakilan rakyat. Untuk mewujudkan lembaga
hukum dan politik yang saling melengkapi memang diperlukan komitmen yang
kuat dan kesungguhan melaksanakan demokratisasi dan penegakkan wibawa
hukum. Semua itu bergantung kepada pemahaman dan tanggung jawab kita
yang lebih dalam untuk memfungsikan lembaga hukum dan politik sesuai
dengan jiwa dan semangat konstitusi, maupun dalam membangun budaya
masyarakat yang kondusif untuk menegakkan prinsip-prinsip tersebut.***
C. Filsafat Hukum
Filsafat Hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis.
Jadi obyek filsafat hukum adalah hukum, dan obyek tersebut dikaji secara
mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.
Seperti diungkapkan oleh Radhakrishnan dalam bukunya The History of
Philosophy, manfaat mempelajari filsafat hukum bukan hanya sekedar
mencerminkan semangat masa ketika ia hidup, melainkan membimbing kita
untuk maju. Fungsi filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita
untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke
dalam berbagai bangsa, ras, dan agama itu mengabdi kepada cita-cita
mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak
universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam
semangatnya.(Poerwatana, 1988)
D. Psikologi Hukum
Psikologi hukum adalah cabang pengetahuan yang mempelajari hukum
sebagai perwujudan dari perkembangan jiwa manuisa. Psikologi adalah ilmu
pengetahuan tentang perilaku manusia. Maka dalam kaitannya dengan studi
hukum, ia akan melihat hukum sebagai salah satu dari pencerminan
perilaku manusia. Suatu kenyataan bahwa salah satu yang menonjol pada
hukum, terutama pada hukum modern, adalah penggunaannya secara sadar
sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki. Dengan
demikian sadar atau tidak sadar, hukum telah memasuki bidang psikologi,
terutama psikologi sosial (Soedjono,1983).
Hand Out Ilmu Hukum
Oleh :H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan XI
BIDANG STUDI HUKUM (LANJUTAN)
E. ANTROPOLOGI HUKUM
Antropologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang
mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat
sederhana, maupun pada masyarakat yang sedang mengalami proses
perkembangan dan pembangunan. Metode pendekatan antropologi menurut
Euber :”suatu segi yang menonjol dari antropologi adalah pendekatan
secara menyeluruh yang dilakukan terhadap manusia. Para antropolog
mempelajari tidak hanya semacam jenis manusia, mereka juga mempelajari
semua aspek dari pengalaman manusia, seperti penulisan gambar tentang
bagian dari sejarah manusia, lingkungan hidup dan kehidupan
keluarga-keluarga, ekonomi,politik, agama dan sebagainya.
F. SOSIOLOGI HUKUM
Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara
empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal balik antara hukum
sebagai gejala sosial dengan gejala sosial lainnya. Mempelajari hukum
secara sosiologis adalah menyelidiki tingkah laku orang dalam bidang
hukum.
PENEGAKAN HUKUM;
KESADARAN, KEPATUHAN DAN KEBERLAKUAN HUKUM
- J.J. Von Schmid (1965) membedakan antara perasaan
hukum dan kesadaran hukum. Menurutnya perasaan hukum aialah penilaian
hukum yang timbul secara serta merta dari masyarakat. Sedangkan
kesadaran hukum lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum
mengenai penilaian tersebut yang telah dilakukannya secara ilmiah.
- Paul Scholten (1954) menyebutkan bahwa kesadaran
hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam diri
manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.
- Bierstedt (1970) menyebutkan bahwa kesadaran hukum muncul karena didorong oleh sejauhmana kepatuhan kepada hukum yang didasari oleh: indoctrination, habituation,utility, dan group identification. Proses
ini melalui internalisasi dalam diri manusia. Kadar internalisasi
inilah yang kemudian memberikan motivasi yang kuat dalam diri manusia
atas persoalan penegakan hukum.
- Soerjono Soekanto (1982,1993) menyatakan terdapat 4
indikator kesadaran hukum yang masing-masing merupakan suatu tahapan
bagi tahapan selanjutnya, yaitu: pengetahuan hukum, pemahaman hukum,
sikap hukum dan pola perilaku hukum. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum yaitu: faktor hukum (UU) nya sendiri,
faktor penegakan hukum, faktor kesadaran hukum masyarakat, dan faktor
kebudayaan.
Pembinaan
kesadaran hukum dan budaya
hukum
masyarakat itu perlu dikembangkan, baik melalui saluran pendidikan
masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya maupun melalui saluran media
komunikasi massa dan sistem informasi yang menunjang upaya
pemasyarakatan dan pembudayaan
kesadaran hukum yang luas. Sudah saatnya semua pihak menanamkan keyakinan yang sunguh-sungguh mengenai pentingnya menempatkan
hukum sebagai “
kalimatun sawa’” atau
‘pegangan normatif’ tertinggi
dalam kehidupan bersama.
Pengakuan terhadap sistem
Hukum Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem
hukum nasional, akan berdampak sangat positif terhadap upaya pembinaan
hukum
nasional. Setidak-tidaknya, kita dapat memastikan bahwa di kalangan
sebagian terbesar masyarakat Indonesia yang akrab dengan nilai-nilai
Islam,
kesadaran kognitif dan pola perilaku mereka dapat dengan mudah memberikan dukungan terhadap norma-norma yang sesuai dengan
kesadaran dalam menjalankan syari’at agama. Dengan demikian, pembinaan
kesadaran hukum masyarakat dapat lebih mudah dilakukan dalam upaya membangun sistem supremasi
hukum di masa yang akan datang. Hal itu akan sangat berbeda jika norma-norma
hukum yang diberlakukan justru bersumber dan berasal dari luar
kesadaran hukum masyarakat.
Pembenaran Filosofis dan Ketatanegaraan
Perkembangan ke arah adopsi yang makin luas terhadap sistem
Hukum Islam yang bersesuaian dengan dinamika
kesadaran hukum
dalam masyarakat kita, yang dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan
perundang-undangan serta diwujudkan dalam esensi kelembagaan
hukum yang dikembangkan dapat dikaitkan pula dengan
dengan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat filosofis dan
ketatanegaraan. Secara umum dapat diakui bahwa UUD 1945 mengakui dan
menganut ide ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan bermasyarakat,
berbanga dan bernegara. Ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak saja
ditegaskan dalam rumusan Pembukaan UUD yang menyebut secara eksplisit
adanya pengakuan ini, tetapi juga dengan tegas mencantumkan ide
Ketuhanan Yang Maha Esa itu sebagai sila pertama dan utama dalam rumusan
Pancasila. Bahkan, dalam Pasal 29 UUD 1945, ditegaskan pula bahwa
Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan dalam Pasal 9 ditentukan
bahwa setiap Presiden dan Wakil Presiden sebelum memangku jabatan
diwajibkan untuk bersumpah ‘Demi Allah’.
Ide Ke-Maha Esaan Tuhan itu bahkan dikaitkan pula dengan ide Ke-Maha
Kuasaan Tuhan yang tidak lain merupakan gagasan Kedaulatan Tuhan dalam
pemikiran kenegaraan Indonesia. Namun, prinsip Kedaulatan Tuhan itu
berbeda dari paham teokrasi barat yang dijelmakan dalam kekuasaan Raja,
maka dalam sistem pemikiran ketatanegaraan .