Cute Hamster....

Sabtu, 25 Mei 2013

Sejarah Kebudayaan Suku Tolaki Sulawesi Tenggara

info tentang suku asli di daratan Sulawesi Tenggara yaitu suku tolaki.dalam era globalisasi saat ini banyak dari kita yang mengadopsi budaya - budaya dari luar sehingga budaya asli kita sedikit demi sedikit mulai pudar karena pengaruh moderenisasi untuk mengantisipasi hal tersebut maka kita para anandonia sulawesi tenggara perlu melestarikan budaya kita sendiri.
“Kalo Sara Sebagai Fokus Kebudayaan Tolaki di Sulawesi Tenggara? Pertanyaan “Spesifik” ini versi penulis Drs Basaula Tamburaka, hanya khusus, ditujukan kepada orang Tolaki pada umumnya, lebih khusus lagi, generasi muda.  Basaula dalam tulisannya beranggapan bahwa mereka belum paham tentang: apa, mengapa dan bagaimana kebudayaan Tolaki dalam hal, bentuk dan penggunaan Kalo. Seperti diketahui kebudayaan memiliki beberapa prinsip Kalo yang ada dalam masyarakat Tolaki. Ini perlu dipahami generasi muda Tolaki dan wajar untuk dilestarikan keberadaannya. 

Adapun empat prinsip atau fungsi Kalo terdiri: 
1. Kalo sebagai lambang Adat-Istiadat, 
2. Kalo sebagai fokus Kebudayaan Tolaki, 
3. Kalo sebagai pedoman hidup, 
4. Kalo sebagai alat pemersatu dalam kehidupan orang Tolaki.

Inilah empat prinsip Kalo diwujudkan dalam bentuk ; Kalo sebagai benda, Kalo sebagai konsep, serta Kalo sebagai simbol yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari Tolaki. Untuk dipahami bahwa, dari sekian “ROH” atau isi Kalo, akan selalu muncul pertanyaan dikalangan masyarakat luas dewasa ini adalah, tentang bentuk dan penggunaan “fisik” Kalo. Serta penerapan “Hukum Adat Tolaki” disebut “O’SARA” digunakan khusus orang Tolaki, dimanapun mereka bermukim.
Pada kesempatan ini, Insya Allah penulis akan mengetengahkan atau tepatnya ingin “memperkenalkan” kebudayaan Tolaki secara deskripsi dan berseri (seri etnografi). Kali ini, diawali sebagaimana judul di atas, mendeskripsikan Kalo Sara sebagai sumber hukum Adat Tolaki yang diakui, ditaati, dijunjung, dan dihormati masyarakatnya sejak dahulu kala hingga hari ini. Juga akan disinggung dimana perbedaan sebutan To Laki dan To Mekongga.
Adapun yang mendorong penulis “membumikan” Kalo Sara kali ini bahwa, nampaknya orang Tolaki baik yang bermukim diperdesaan terutama di perkotaan, merasa tidak peduli lagi atau sama sekali kurang rasa hormatnya terhadap Adat-Istiadat Tolaki. Apakah mereka beranggapan bahwa, Adat-Istiadat Tolaki tergolong “Kuno ?” Sehingga enggan mempertahankan budaya dan kearifan lokal para leluhurnya ? Salah satu contoh, beberapa waktu lalu banyak kalangan tertentu menulis di media massa, termasuk di Harian Kendari Pos. Bahwa bahasa Daerah Tolaki dan karya budaya leluhur dalam bentuk aktifitas dan hasil karya (Artefak) mulai memudar atau akan hilang sama sekali?
Itulah maksud dan tujuan spesifik tulisan itu hadir di tengah-tengah masyarakat Tolaki, Ketika orang “terlena” membicarakan peradaban dan kemajuan zaman, muncul di siang “bolong”, untuk mengingatkan kepada generasi muda khususnya dan kepada semua pihak yang merasa bertanggung jawab atas pelestarian Budaya Daerah Tolaki di Mekongga dan di Konawe. Yang dimaksud suku Tolaki disini adalah, salah satu suku bangsa dari sekian banyak etnis di Sultra. Menurut hasil penelitian, terdapat 30 suku atau etnis yang ada di Jazirah Celebes yang berbentuk huruf “K” pula Sulawesi itu. Mereka bermukim di “kaki” Tenggara Sulawesi, Provinsi berlambang kepala Anoa. Suku bangsa Tolaki ini, persebarannya di bekas Kerajaan Mekongga di Wundulako Kolaka dan sekitarnya. Bekas Kerajaan Konawe di Olo-Oloho Unaaha dan sekitarnya plus pulau Wawonii. Konon menurut catatan sejarah, dua bekas Kerajaan ini bersaudara kandung, yakni Raja/Ratu Wekoila dan Raja Larumbalangi.
Menurut tokoh masyarakat Tolaki “Arsamid Al Ashur” “Suku Tolaki adalah To Konawe, artinya orang Konawe berdialek bahasa Konawe dan To Mekongga, artinya orang Mekongga berdialek bahasa Mekongga berada di dua tempat terpisah.”
Selain itu pakar Antropologi ke 13 di Indonesia DR. A. Rauf Tarimana dalam bukunya “Kebudayaan Tolaki mengatakan, “Adapaun suku bangsa Tolaki adalah terdiri To Konawe dan To mekongga, yang disebut bahasa Konawe dan bahasa Mekongga, yang masing-masing merupakan dialek. Pemakai dan penerima “Bahasa” dari masing-masing dialek dapat saling mengerti satu sama lain, meskipun ada perbedan sedikit, baik dalam kata maupun lagu”.
Mengutip penulis bangsa Belanda H. Vander Kliff dalam catatan tentang bahasa Mekongga. “Bahwa orang Mekongga adalah orang (suku) Tolaki di Mekongga”. Artinya hanya memisahkan secara geografis dari dua buah bekas kerajaan di atas. Namun dalam Ensiklopedia Antropologi Indonesia tetap satu, yaitu Suku Bangsa Tolaki alias Suku Tolaki.
Ketika membicarakan kajian Kalo sebagai fokus kebudayaan Tolaki cukup luas aspeknya, beda jika disebut “Kalo Sara” sebagaimana fokus tulisan ini. Pada uraian berikutnya akan terlihat benang merah antara sebutan “Kalo” dengan “Kalo Sara”. Apalagi ditampilkan dalam Karya tulis ilmiah populer ini. Mustahil dipaparkan atau diuraiakan terinci serta runut sesuai pedoman yang tertulis dalam masyarakat Tolaki. Apa pasal ? Karena fungsi media massa seperti Kendari Pos yang “rajin” mengangkat unsur Kebudayaan Daerah yang ada di Sultra, dimana halaman Koran ini amat terbatas. Namun. tidak menghilangkan subtansi dan filosofi yang terkandung dalam bentuk kearifan lokal terutama aturan-aturan khusus yang berlaku, telah menstradisi di bumi Landolaki tersebut.

Mengenakan busana tradisional berwarna kuning menyala, dilengkapi selendang biru, dan ikat kepala merah, serta aksesoris kalung etnik. Para penari wanita muda dan cantik ini berlenggak-lenggok atraktif dan kadang gemulai mengikuti irama musik. Tarian itu kerap disuguhkan di berbagai acara khusus untuk menerima atau menjemput tamu kehormatan.
Soal seni budaya, Kota Kendari pun tak kalah dengan daerah lain. Kalau Aceh identik dengan Tari Seudati, Jakarta tersohor dengan Tari Topeng Betawi, maka Kota Kendari pun memiliki beberapa tarian tradisional yang khas dan pantas dibanggakan, seperti Tari Monotambe dan Lulo.
Tari Monotambe atau tari penjemputan misalnya merupakan tarian khas Suku Tolaki yang kerap ditampilkan saat ada event berskala besar untuk menjemput tamu besar. Misalnya saat pembukaan Festival Tekuk Kendari (Festek) yang kerap dihadiri beberapa tamu penting dari Jakarta dan daerahlain. Sebagai catatan Suku Tolaki merupakan penduduk asli Kota Kendari sebagaimana Suku Betawi di Kota Jakarta.
Tarian ini dilakoni oleh 12 penari perempuan muda dan 2 penari lelaki sebagai pengawal. Para penari perempuanyya mengenakan busana motif Tabere atau hiasan, sarung tenun Tolaki, dan aksesoris seperti Ngaluh atau ikat kepala, dan kalung. Dalam tarian berdurasi sekitar 5 sampai 10 menit ini, beberapa penari perempuan membawa Bosara atau bokor dari rotan, sedangkan dua penari lelakinya memegang senjata tradisional.
Sementar Tari Lulo merupakan tari pergaulan khas Sulawesi Tenggara yang juga populer di Kota Kendari. Tarian ini biasanya dilakukan oleh kawula muda sebagai ajang perkenalan. Kini Tari Lulo juga kerap disuguhkan saat ada tamu kehormatan sebagai tanda persahabatan antara warga Kota Kendari dengan pendatang, dalam hal ini wisatawan.
Gerakan Tari Lulo tidaklah serumit tarian tradisonal lain. Para penarinya saling berpegang tangan satu sama lain membetuk lingkaran yang saling menyambung. Dalam sebuah acara besar yang dihadiri pengujung dari luar Kota Kendari, para penari Lulo selalu mengajak tamu dengan ramah untuk ikut menari. Setiap tamu yang tidak bisa menari akan dianjarkan cara melangkah atau menari ala Tari Lulo oleh penari yang mengajaknya hingga terbiasa.
Tari Lulo ini pun kerap ditampilkan pada Festek. Bahkan pada perayaan tersebut, tari ini pernah ditampilkan secara kolosal dengan mengikutsertakan warga kota dan wisatawan yang datang. TC Alip

Nilai-nilai Kebudayaan masyarakat TOLAKI

ota Kendari terdiri dari beberapa suku bangsa, salah satunya adalah suku bangsa Tolaki. Suku ini merupakan suku asli di daratan Sulawesi Tenggara selain suku Muna dari Pulau Muna dan Suku Buton yang berasal dari pulau Buton. Sekitar abad ke-10 daratan Sulawesi Tenggara memiliki dua kerajaan besar yaitu kerajaan Konawe (wilayah Kabupaten Konawe) dan Kerajaan Mekongga (Wilayah Kabupaten Kolaka) secara umum kedua Kerajaan ini serumpun dan dikenal sebagai suku Tolaki. Dalam artikel ini saya akan membahas secara singkat tentang Kebudayaan masyarakat Tolaki.
Dalam perjalanan sejarah Kerajaan Konawe yang berkedudukan di Unaaha pernah menerapkan perangkat pemerintahan yang dikenal dengan SIWOLE MBATOHU sekitar tahun 1602/1666 yaitu :
1) Tambo I ´Losoano Oleo
2) Tambo I´ Tepuliano Oleo
3) Bharata I´Hana;
4) Bharata I´ Moeri
Ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan mereka terdapat satu simbol peradaban yang mampu mempersatukan dari berbagai masalah atau persoalan yang mampu mengangkat martabat dan kehormatan mereka disebut: “KALO SARA” serta kebudayaan Tolaki ini yang lahir dari budi, tercermin sebagai cipta rasa dan karsa akan melandasi ketentraman, kesejahteraan kebersamaan dan kehalusan pergaulan dalam bermasyarakat.
Didalam berinteraksi sosial kehidupan bermasyarakat terdapat nilai-nilai luhur lainnya yang merupakan Filosofi kehidupan yang menjadi pegangan , adapun filosofi kebudayaan masyarakat tolaki dituangkan dalam sebuah istilah atau perumpamaan, antara lain sebagai berikut :
- Budaya O’sara (Budaya patuh dan setia dengan terhadap putusan lembaga adat), masyarakat Tolaki merupakan masyarakat lebih memilih menyelesaikan secara adat sebelum dilimpahkan/diserahkan ke pemerintah dalam hal sengketa maupun pelanggaran sosial yang timbul dalam masyarakat tolaki, misalnya dalam masalah sengketa tanah, ataupun pelecehan. Masyarakat tolaki akan menghormati dan mematuhi setiap putusan lembaga adat. Artinya masyarakat tolaki merupakan masyarakat yang cinta damai dan selalu memilih jalan damai dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
- Budaya Kohanu (budaya malu), Budaya Malu sejak dulu merupakan inti dari pertahanan diri dari setiap pribadi masyarakat tolaki yang setiap saat, dimanapun berada dan bertindak selalu dijaga, dipelihara dan dipertahankan. Ini bisa dibuktikan dengan sikap masyarakat Tolaki yang akan tersinggung dengan mudah jika dikatakan , pemalas, penipu, pemabuk, penjudi dan miskin, dihina, ditindas dan sebagainya. Budaya Malu dapat dikatakan sebagai motivator untuk setiap pribadi masyarakat tolaki untuk selalu menjadi lebih kreatif, inovatif dan terdorong untuk selalu meningkatkan sumber dayanya masing-masing untuk menjadi yang terdepan.
- Budaya Merou (Paham sopan santun dan tata pergaulan), budaya ini merupakan budaya untuk selalu bersikap dan berperilaku yang sopan dan santun, saling hormat-menghormati sesama manusia. Hal ini sesuai dengan filosofi kehidupan masyarakat tolaki dalam bentuk perumpamaan antara lain sebagai berikut:
Ø “Inae Merou, Nggoieto Ano Dadio Toono Merou Ihanuno”
Artinya :
Barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain, maka pasti orang lain akan banyak sopan kepadanya.
Ø “Inae Ko Sara Nggoie Pinesara, Mano Inae Lia Sara Nggoie Pinekasara”
Artinya :
Barang siapa yang patuh pada hukum adat maka ia pasti dilindungi dan dibela oleh hukum, namun barang siapa yang tidak patuh kepada hukum adat maka ia akan dikenakan sanksi / hukuman
Ø “Inae Kona Wawe Ie Nggo Modupa Oambo”
Artinya :
Barang siapa yang baik budi pekertinya dia yang akan mendapatkan kebaikan
- Budaya “samaturu” “medulu ronga mepokoo’aso” (budaya bersatu, suka tolong menolong dan saling membantu), Masyarakat tolaki dalam menghadapi setiap permasalahan sosial dan pemerintahan baik itu berupa upacara adat,pesta pernikahan, kematian maupun dalam melaksanakan peran dan fungsinya sebagai warga negara, selalu bersatu, bekerjasama, saling tolong menolong dan bantu-membantu .
- Budaya “taa ehe tinua-tuay” (Budaya Bangga terhadap martabat dan jati diri sebagai orang tolaki), budaya ini sebenarnya masuk kedalam “budaya kohanu” (budaya malu) namun ada perbedaan mendasar karena pada budaya ini tersirat sifat mandiri,kebanggaan, percaya diri dan rendah hati sebagai orang tolaki .
Mudah-mudahan dari sekian banyak nilai-nilai budaya masyarakat Tolaki yang ada, apa yang saya berikan pada artikel ini bisa lebih membuka mata dan memberi sedikit gambaran tentang kebudayaan Masyarakat Tolaki.
Khasanah kehidupan masyarakat di Kota Kendari Khususnya dan Sulawesi Tenggara Umumnya bukan hanya dipengaruhi oleh nilai-nilai luhur suku bangsa Tolaki tetapi juga oleh masyarakat suku lainnya yang berada di “bumi anoa”, kesemuanya menjadi daya perekat dalam kehidupan bemasyarakat di daerah ini .kerukunan antar ummat beragama juga memberi warna tersendiri ditengah- tengah kepercayaan dan keyakinan untuk menyerahkan diri kepada Tuhannya masing-masing.

Rumah Komali dengan titik pusat tiang Petumbu; Perwujudan “KALO”, Simbol kesatuan Persatuan manusia & alam suku TOLAKI

Kalo: lingkaran konsep dasar

Kalo dari rotan dengan anyaman bambu dan kain putih (Sumber: Tarimana, 1993:208)

Apakah kalo? Secara harfiah “Kalo” adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar, dan pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama di mana para pelaku membentuk lingkaran. Kalo dapat dibuat dari rotan, emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan dari kulit kerbau. Pembuatan kalo pada dasarnya adalah dengan jalan mempertalikan atau mempertemukan kedua ujung dari bahan-bahan tersebut pada suatu simpul. Kalo meliputi osara (adat istiadat) yang berkaitan dengan adat pokok dalam pemerintahan, hubungan kekeluargaan-kemasyarakatan, aktivitas agama- kepercaya-an, pekerjaan-keahlian dan pertanian (Tarimana 1993: 20).
Dari berbagai jenis kalo, yang dikenal luas adalah yang terbuat dari rotan, kain putih dan anyaman. Lingkaran rotan adalah simbol dunia atas, kain putih adalah simbol dunia tengah dan wadah anyaman adalah simbol dunia bawah. Kadang-kadang juga ada yang mengatakan bawah lingkaran rotan itu adalah simbol matahari, bulan dan bintang-bintang; Kain putih adalah langit dan wadah anyaman adalah simbol permukaan bumi. Mereka juga mengekspresikan bahwa lingkaran rotan adalah simbol Sangia Mbu’u (Dewa Tertinggi), Sangia I Losoanooleo (Dewa di Timur) dan Sangia I Tepuliano Wanua (Dewa penguasa kehidupan di bumi), dan wadah anyaman adalah simbol Sangia I Puri Wuta (Dewa di Dasar Bumi). Kalo juga adalah simbol manusia: lingkaran rotan adalah simbol kepala manusia, kain putih adalah simbol badan dan wadah anyaman adalah simbol tangan dan kaki (angota).
Demikianlah kalo pada pola pikir dan mentalitas Tolaki menyangkut seluruh aspek kehidupan mereka. Kalo juga merupakan ekspresi konsepsi orang Tolaki mengenai unsur-unsur manusia, alam, masyarakat dan hubungan selaras antarmanusia dan antara manusia dengan unsur-unsur tersebut, termasuk dalam komunitas dan pola permukiman, organisasi kerajaan dan adat dan norma agama yang mengatur tata kehidupan mereka. Akhirnya dapat dikatakan bahwa kalo melambangkan keselarasan dalam kesatuan-persatuan antara segala hal yang bertentangan dan tampak bertentangan dalam alam tempat berhuni manusia Tolaki.
Melihat apa yang dapat disumbangkan konsep kalo tersebut bagi pengembangan filsosofi arsitektur permukiman rakyat, sudah sepantasnya untuk diketahui lanjut dari manakah asal-usul kalo.
Asal-usul orang Tolaki dan kalo: dari Cina?

Rumah anakea dari Lambuya dengan bentuk atap lengkung, merendah di bagian tengah. (Sumber: Sarasin dalam Bungalaw, 1994, dikutip Tarimana, 1993)

Untuk menjawabnya, perlu dilihat dahulu gambaran umum masyarakat Tolaki. Suku Tolaki, salah satu suku terbesar yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara di samping Suku Buton dan Suku Muna, tersebar di Kab. Kendari dan Kab. Kolaka; yang berada di Kab. Kolaka mendiami daerah Mowewe, Rate-rate dan Lambuya sedangkan yang berada di Kab. Kendari mendiami daerah Asera, Lasolo, Wawotobi, Abuki dan Tinanggea. Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolohianga (orang dari langit). Menurut Tarimana (1993), mungkin yang dimaksud “langit” adalah “kerajaan langit” sebagaimana dikenal dalam budaya Cina (Granat, dalam Needhan 1973 yang dikutip Tarimana). Dalam dugaannya, ada keterkaitan antara kata “hiu” yang dalam bahasa Cina berarti “langit” dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut pergi ke langit”.

Sedikit fenomena linguistik itu memang sangat mudah memancing komparasi karakter tektonik arsitektur Tolaki ke Cina, sehingga ada beberapa pihak yang memperban-dingkan bubungan atap lengkung gaya komali dengan kurva atap kelenteng Cina. Namun atap lengkung bukan monopoli Cina. Dari rumah adat Yulong di Vietnam, Minangkabau sampai yang terdekat dengan tempat kediaman orang Tolaki yaitu tongkonan Toraja, kesemuanya memakai atap berbubungan lengkung.
Jadi sebetulnya tak terlalu mudah untuk menghubungkan peradaban Tolaki dengan Cina. Hipotesis tentang hubungan kesejarahan Tolaki-Cina tampaknya masih sangat perlu didukung oleh kajian antropologi linguistik dan sejarah etnografi arsitektural yang lebih memadai. Apalagi jika yang hendak dikaji bukan hanya bentuk tektoniknya saja tetapi pandangan hidup dan kehidupan masyarakat Tolaki. Pertanyaan penting antara lain: dapatkah melacak sejarah mentalitas yang dikandung konsep kalo ke Cina, mengingat unsur konsepsual utama budaya konfusian Cina adalah kesetimbangan dualitas yin-yang dan bukan keselarasan lingkaran kehidupan dalam kesatuan-persatuan sebagaimana kalo? Apapun wacana yang dapat dikembangkan, asal-usul budaya dan peradaban Tolaki tampaknya lebih mudah diterima jika dikaitkan dengan pola migrasi neo-litikum yang lebih umum: bangsa-bangsa Sulawesi bermigrasi dari jalur Asia Tenggara ke Kepulauan Pilipina; sedangkan mereka yang datang dari arah Selatan bisa jadi berasal dari Pulau Jawa lewat Pulau Buton.
Selain asal-usulnya, hal yang juga sukar diketahui dengan pasti adalah masa pemerintahan raja-raja dalam legenda rakyat tentang dua kerajaan besar lokal: Konawe dan Mekongga. Menurut tradisi tutur, raja Sangia Ngginoburu (Konawe) dan raja Sangia Nibandera (Mekongga) diperkirakan memerintah pada saat Islam telah diterima (Tarimana 1993).
Rekonstruksi: Tiang Petumbu sebagai pusat Rumah Komali

Rumah adat Tolaki telah lenyap. Upaya rekonstruksi digalakkan, antara lain lewat Seminar Penelusuran Arsitektur Tradisional Tolaki Fak. Tek. Universitas Haluoleo, Maret 2004 . Dari studi intensif dan keterangan para nara sumber yang ada, beberapa hal dapat disimpulkan (Faslih, 2004).


Rekonstruksi sistem struktur rumah komali. (Sumber: Hasil Seminar Penelusuran Arsitektur Tradisional Tolaki Fakultas Teknik Universitas Haluoleo, Maret 2004)

Antara lain, bahwa rumah adat Tolaki dapat berupa komali (rumah istana raja) atau laika (rumah tempat orang tinggal). Namun antara rumah raja dan rumah rakyat, yang membedakan adalah besar dan luasnya saja: rumah raja 40 depa rumah rakyat minimal 3 depa. Rumah hanya salah satu dari beberapa jenis shelter dalam peradaban arsitektur Tolaki, yaitu: tempat berlindung sementara (pineworu), pondok berlantai tanah ditengah ladang (laikawatu), tempat berlindung yang dipindah-pindahkan (payu), dangau (patande) dan lumbung (o ala). Pola tatanan permukiman pun tak lepas dari konsep kalo: konsentrik dengan posisi rumah raja/kepala suku berada di bagian tengah (Tarimana 1993).


Rekontekstualisasi tradisi? Rumah tinggal dengan arah masuk dari sisi pendek bangunan (atas) dan gerbang Terminal Powatu, Kendari (bawah) . Apapun, itu adalah salah satu upaya pelestarian yang perlu dihargai. (Foto: Yusfan, 2005)

Menurut para nara sumber adat dalam hasil studi arsitektural dan etnografi, yang menjadi core element dalam rumah adat Tolaki adalah 9 jajar tiang dengan diperkuat balok melintang (powuatako) dan memanjang (nambea). Dalam jajaran tiang ini terdapat satu tiang utama yang disebut dengan tiang petumbu yang terletak ditengah baris dan lajur ke-9 tiang ini. Tiang petumbu adalah tiang yang pertama kali ditanam dan pemasangannya dilakukan pada waktu subuh (sebelum matahari terbit). Setelah petumbu didirikan, 4 hari atau lebih baru didirikan tiang-tiang lainnya dengan maksud untuk melihat dalam jangka waktu tertentu apakah akan terjadi sesuatu pada tiang petumbu. Jika tidak terjadi sesuatu maka dilakukan pemasangan ke-9 tiang yang lainnya.
Setelah ke-9 tiang berdiri yang pertama dipasang adalah balok powuatako (A) pada sisi dalam tiang arah bagian belakang rumah, selanjutnya balok B dan C. Setelah balok powuatako dipasang selanjutnya pemasangan balok nambea (1) dimulai dari arah kanan rumah, kemudian menyusul nambea 2 dan nambea 3. Semua Powuatako dan nambea, baik yang melintang maupun yang memanjang yang menempel pada tiang dipinggir luar badan bangunan, harus ditempatkan di belakang tiang. Agar setelah dinding dipasang tiang tak akan kelihatan dari luar, karena terhalang oleh dinding.
Rumah Komali berbentuk rumah panggung yang menggunakan tiang-tiang bundar (tusa), tidak menggunakan pondasi seperti halnya rumah-rumah adat yang lain. Tiang ditanam sedalam satu hasta, tiang yang akan ditanam ke dalam tanah sebelumnya dibakar pada bagian selubung (permukaan tiang) hingga menjadi arang, selanjutnya tiang yang dibakar tadi dibungkus dengan ijuk dan diikat persegmen dengan menggunakan rotan. Makna kedalaman satu hasta tidak ada, hanya terkait dengan kemudahan penggalian dan pengang-katan tanah ke permukaan. Tiamh dibakar dan dibung-kus bertujuan agar permukaan selubung tiang menjadi arang agar tiang tidak mudah dimakan rayap dan agar arang tersebut tetap melekat pada selubung tiang.
Tinggi tiang dari permukaan tanah hingga ke permukaan lantai diperkirakan kerbau bisa masuk dibawahnya, kurang lebih 2 m. Jumlah tiang untuk Komali adalah 40 tiang di luar tiang dapur dan tiang teras. Makna dari jumlah 40 tiang ini terkait dengan suatu jumlah yang disaratkan dalam meminang yaitu 40 pinang dan 40 lembar daun sirih. Jadi perwujudan ini diejawantahkan dalam tiang-tiang penopang rumah. Jika dianalisis dari segi fungsi maka jumlah 40 tiang merupakan jumlah tiang yang mewakili satu rumah besar, yang hanya dibangun oleh tokoh tertinggi adat (Mokole).
Hubungan antara balok powuatako, nambe dengan tiang, diikat dengan rotan. Cara mengikat; pertama rotan pengikat diikatkan pada powuatako atau nambea bukan pada tiang. Putaran pertama kali silang ke arah kanan sebanyak 4 putaran selanjutnya pada arah silang kiri sebanyak 3 kali putaran terakhir di tinohe di antara tiang dan powuatako atau nambea. Setelah pemasangan kesembilan tiang ini barulah bisa dilakukan pemasangan tiang-tiang tambahan lainnya sesuai dengan luasan dan kebutuhan yang dikehendaki.
Kesembilan tiang yang merupakan core element dalam rumah adat Tolaki merupakan symbol dari siwolembatohu yaitu delapan penjuru mata angin. Tiang petumbu merupakan pusat dari siwolembatohu. Oleh karena itu, inilah yang menjadi dasar pemikiran mengapa tiang petumbulah yang pertama kali dibangun bahkan dalam pemasangannya diikuti oleh upacara ritual dan pada bagian puncaknya diberi ramuan guna memohon kepada Tuhan agar seisi rumah yang menempati rumah ini dapat terhindar dari berbagai bahaya yang datang dari delapan penjuru mata angin.
Rekontekstualisasi kalo

Kalo sebagai lambang kesatuan/persatuan suku Tolaki adalah lambang kebersamaan diiringi oleh ketulusan tanpa egoisme, untuk hidup dalam suatu situasi yang dinamis, di mana setiap orang dalam berbagai perbedaan suku, ras dan agama hidup dalam satu lingkaran yang terjalin dan tersimpul dengan kuat. Dan tentunya hal ini harus dipahami sebagai bentuk kebersamaan yang tidak mudah lepas hanya karena adanya perbedaan pemikiran yang mengakibakan timbulnya kesalahpahaman atau bahkan yang lebih parah dari itu, yakni timbulnya pertikaian. Kesimpulan: konsep kesatuan-persatuan yang dikandung kalo wajib direkontekstualisasikan secara nyata —tak hanya dalam masyarakat Tolaki, tetapi juga menjadi pelajaran bagi masyarakat bangsa ini— setelah rangkaian perhelatan seminar digelar dan hasilnya ditumpuk-arsipkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar